Lihat ke Halaman Asli

Petualangan Menjadi “Artis” di Tokyo

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13465183151970656675

Kisah nyata ini tidak aku sangka-sangka sebelumnya, tetapi nyata terjadi yang menjadikan diriku "artis" di Tokyo, Ibukota Jepang.Pada pertengahan bulan Agustus 2012 yang lalu, tepatnya pada liburan Obon yang sangat ramai karena waktu itu merupakan hari libur nasional Jepang untuk menghormati arwah-arwah nenek moyang yang sudah meninggal. Libur 5 hari tersebut kebanyakan digunakan oleh orang Jepang untuk mudik seperti halnya di Indonesia untuk mengunjungi keluarga dan kerabat serta bersembahyang mendoakan arwah nenek moyangnya. Tetapi banyak diantara orang Jepang menggunakan liburan tersebut untuk berlibur ke berbagai tempat baik di dalam negeri maupun luar negeri. Akupun juga mendapatkan liburan obon waktu itu, karena tinggal, hidup dan bekerja di Jepang. Jadi hak liburannya sama dengan orang Jepang.Sebenarnya aku bersama seorang teman Indonesia berencana mendaki Gunung Fuji yang terkenal dengan keindahannya itu bersama teman-teman dia yang lainnya.Perlu diketahui kegiatan mendaki gunung, terutama gunung Fuji adalah suatu kegiatan terkenal dan bisa dikatakan suatu tradisi pada musim panas seperti pada liburan obon ini. Tetapi  ternyata aku tidak jadi mendaki Gunung Fuji dan memutuskan untuk menghadiri undangan khusus dari Mas Junanto Herdiawan, teman dan sekaligus seorang penulis muda buku " Japan After Shock dan Shocking Japan", yang akan mengadakan kegiatan "Bedah Buku Shocking Japan dan Mengupas Kompasiana Blogshop" di Tokyo. Di acara yang diadakan pada tanggal 12 Agustus 2012 tersebut pastinya bisa mempunyai banyak kesempatan bertemu dengan teman-teman yang mempunyai ide yang sama. Dikarenakan jarak Tokyo dan Kyoto tempat tinggalku sangat jauh, kira-kira 600 Km, maka aku berangkat 2 malam sebelumnya walau sendirian dan naik bus malam. Sebetulnya bisa berangkat 1 malam sebelumnya, tetapi aku ingin bermain sendirian di Tokyo.   Sekali lagi,   s e n d i r i a n  tanpa ada teman yang menemani. Selain itu, sebetulnya alat transportasi lain yang lebih cepat dan nikmat seperti pesawat dan shinkasen bisa aku naiki, tetapi aku kali itu memutuskan untuk naik bus malam saja. Alasanya bukannya karena karena lebih murah walaupun kenyataannya begitu (sekali jalan 7.500 Yen atau sekitar Rp. 825.000 bila kurs 1 Yen = Rp110), tetapi lebih beralasan karena ingin mengenang perjalananku sewaktu pertama kali datang ke daerah Kansai dan Kyoto yang mana waktu itu menggunakan Bus malam juga. Biasanya dan sudah 3 kali jarak dari Kyoto ke Tokyo aku tempuh dengan mengendarai mobil pada malam hari supaya tibanya pagi harinya. Jadi, alasan ingin mengenang perjalanan sendirian dengan bus malam di Jepang adalah alasan kuatku untuk pergi ke Tokyo seorang diri dari kota Kyoto. Saatnya naik bus malam telah tiba malam itu pukul 23:00 dari halte bus No. 3 yang ada di depan Stasiun Kereta Tenri. Sengaja aku berangkat dari depan Stasiun Kereta Tenri karena kepentingan ada kepentingan sebelumnya di kota yang ada di propinsi Nara itu. Bus Malam yang bernama "Nara Kotsu" datang tepat waktu persis seperti jadwal keberangkatannya yang tertulis di pamflet perusahaan bus tersebut dan juga di tiketnya. "Wah..tepat waktu nih datangnya !", pikirku dalam hati yang sebenarnya sudah mengerti bahwa di Jepang kegiatan apapun pasti tepat waktu. Dari pengamatanku mungkin 5 buah bus yang datang bersamaan saat itu, tapi sesuai yang tertulis di tiket ku, kalau aku harus naik bus yang bernomor 2 dan harus duduk di kursi no 8B. Ada 2 staff setiap bus nya keluar dari dalam bus itu dengan sangat bersemangat memakai seraagam baju putih, celana biru dan bertopi biru juga layaknya pegawai kereta dan pilot pesawat saja. Seorang diantara mereka turun dan memanggili nama penumpang seorang demi seorang dengan suara keras tetapi memakai Bahasa Jepang yang sangat sopan. "Wahh…keras sekali suaranya, apa keras juga nyetirnya ya…", batinku dalam hati lagi walau sudah sangat yakin kalau para sopir bus di Jepang sangat hati2 dan profesional menjalankan tugasnya. Dan yang seorang lagi langsung melayani para penumpang dengan mengangkut dan memasukkan barang bawaannya di dalam bagasi dengan memberi label nama dan nomor kursi penumpang sebelumnya. "Tori Minamiyama-sama (Bapak/Saudara) ", kata sopir itu memanggil namaku di hampir urutan terakhir. "Hai (Ya)", jawabku sambil berjalan menyerahkan tiket busnya. "8B no oseki desune (Tempat duduk anda nomor 8B ya). Dozo ohairi kudasai (Silakan masuk!)", katanya mempersilakanku masuk dalam bus yang cenderung mirip bus tingkat itu. Selanjutnnya aku memasuki bus dan menaiki tangga untuk mencari tempat dudukku. "Wow…kok remang-remang suasanya dalam bus?", pikirku sambil melangkah mencari-cari dan menuju kursi No. 8B. Akhirnya kutemukan kursi itu yang letaknya disebelah kiri dekat jendela. Kursi itu seperti kursi yang lainnya tidak menempel atau bersebelahan dengan kursi yang lain. Jadi seluruh penumpang yang jumlahnya tidak banyak bisa duduk sendirian tanpa terganggu penumpang lainnya. Kutemukan kursiku tapi tidak langsung bisa langsung mendudukinya karena terhalang oleh kaki penumpang yang duduk di kursi tengah-tengah bus yang kakinya slonjor memakai injakan kaki khusus yang satu set dengan kursi itu. "Huh..nggak bisa lewat nih aku kalau begini !", aku berkata dalam hati cenderung marah karena perempuan itu tidur atau sedang asyik mendengarkan ipod nya dengan memakai earphone. "Semimasen (Maaf)", kataku membangunkannya. Ternyata perempuan muda itu mendengar dan bangun saat itu. "Sumimasen. Chotto toorashite moraemasu ka (Maaf. Ijinkan saya lewat sebentar !)", kataku minta supaya dia memberi kesempatan aku lewat di depannya dengan sopan. Ternyata dia tidak langsung paham kata-kataku. Aku ulangi lagi mengucapkan kata itu dengan nada sedikit keras walau khawatir penumpang lain terbangun dari tidurnya. Setelah tiga kali ku ulangi kata-kataku dengan nada semakin keras, perempuan yang kira-kira seusia mahasiswa itu paham maksudku dan berkata, "Aa, soo iu imi desu ka (Oh, maksudnya seperti itu to?)". "Sumimasen, Hai doozo tootte kudasai (Maaf, Silakan lewat !)", katanya lagi meneruskan kata-katanya. "Sumimasen", jawabku meminta maaf tapi cenderung berarti terimakasih khusus untuk ungkapan ini. Aku duduk dikursi khususku. Tak ada orang yang duduk disampingku. Dan tak ada seorang pula yang duduk di samping penumpang-penumpang yang lainnya saat itu, karena memang bus malam di Jepang seperti itu model dan sistemnya. Semua penumpang yang jumlahnya mungkin hanya sekitar 20 orang sesuai jumlah kursi yang ada tidur semua, kecuali seorang perempuan yang ada di dekatku, dia sesekali membuka HP nya dan bergerak-gerak seolah keasyikkan mendengarkan musik lewat earphonnya. Aku tersadarkan kalau para penumpang itu sudah terlebih dahulu naik bus itu dari terminal dan halte-halte bus sebelum halte terakhir tepat aku naik saat itu. Bus mulai berangkat menuju Tokyo dari kota Tenri yang akan memakan waktu 7 Jam lamanya. Sambil menarik nafas melepaskan lelahku, aku atur sandaran kursi sampai roboh kebelakang biar leluasa tidurku. Injakan kaki dan penahan betispun juga aku naikkan supaya bisa leluasa meluruskan kaki. Botol minumanpun aku letakkkan di tempat khusus yang sudah disediakan dipojok sebelah kiri depan. Hanya ada satu kata dalam pikiranku saat itu. Sepi ! Semua orang tidur dan tak ada cahaya luar bus yang terpancar masuk ke dalam bus. Semua jendela yang kelihatan sangat lebar dari luar bus tertutup semuanya dengan korden. "Aduh…payah nih! Kalau begini aku nggak bisa membaca buku dan print out yang sangat aku perlukan untuk persiapan acara di Tokyo nih !", pikirku saat itu jengkel. "Terus laptop ku tidak bisa juga aku buka dan pakai, karena gak boleh mengeluarkan dan menggunakan benda yang memantulkan sinar", pikirku lagi setelah membaca peraturan yang tertulis di buku panduan bus yang ada di depanku. "Sial !", gumamku dalam kesepian dan kecuekan penumpang-penumpang lain. Memang saat itu suatu kesialan bagiku karena aku sudah merencanakan akan melakukan banyak hal seperti membaca, menulis dan memakai laptop di dalam bus selama perjalanan menuju Tokyo. Tapi aku sadari, semua itu salahku sendiri, karena aku lupa akan suatu hal kalau aku sebenarnya berada di Jepang dan bukan Indonesia. Di Jepang semua hal diatur dengan teratur termasuk cara-cara naik bus malam, yang bertujuan supaya tidak menganggu dan menyedihkan orang lain. Bus malam di Jepang identik dengan kamar tidur yang setelah bangun tiba-tiba sampai tempat tujuan dengan nyaman dan sehat karena tidak ada penumpang yang begadang di dalam bus. Sebenarnya aku sudah tahu hal itu, hanya saja agak terlupa saat itu, karena pengalaman naik bus malam aku lakukan 12 tahun yang lalu saat aku pertama kali menginjakkan kaki di Jepang. Tapi sadar akan hal itu, akupun merelakan diri untuk langsung tidur apalagi badan sudah capek dan juga terdengar ucapan sang sopir lewat pengeras suara, "….Okyakusama, Oyasuminasai (Para penumpang, Selamat tidur) !" Tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Ternyata aku telah tertidur benar selama 7 jam perjalanan. Kulihat ada cahaya menyilaukan mataku. Jendela sebelah penumpang yang ada di depanku sedikit terbuka dan penumpang itu menyisir rambutnya dan juga merias wajahnya. Kulihat jam di HP ku menujukkan pukul 6 pagi tepat, artinya 15 menit lagi bus akan sampai di "Shinjuku Busway Terminal" yang ada di depan "Shinjuku Railway Station" di Tokyo. Akupun juga bangun untuk siap-siap turun. Kutegakkan sandaran kursi dan kumasukkan injakan kaki sesuai penguman yang terdengar lewat speaker dalam bus. Tepat pukul 6:15 bus yang aku tumpangi masuk dan sampai tujuan dengan selamat. "Kok sampainya tepat ya, seperti jadwal yang tertulis di tiket dan pamflet ?!", batinku lagi saat itu. Terdengar suara sopir lewat pengeras suara lagi, katanya, " Okyakusama. Ohayoo gozaimasu.  Toukyo Shinjuku Basu Taaminaru ni touchaku shimashita. Otsukaresama deshita (Para penumpang. Selamat pagi. Kita sudah sampai di Terminal Bus Shinjuku Tokyo. Terimakasih telah bersama kami). Aku turun dari Bus. Tak ada barang bawaan seperti kopor yang harus aku minta dan ambil dari petugas. Aku melangkah beberapa langkah agak menjauh dari bus. Terlihat papan elektronik yang berfungsi untuk mengumumkan kepada banyak orang tentang nama bus yang akan berdatangan dan jam kedatangannya dengan jelas. "Wah...kayak di Airport saja", pikirku heran. Terlihat beberapa penjemput memandangi papan itu dengan tenang sambil sesekali menelepon. Selanjutnya karena aku hari itu bebas dan tidak punya acara yang harus dilakukan pagi-pagi benar, akupun masuk gedung terminal itu. Aku lihat counter yang panjang dengan petugas yang sibuk melayani penumpang yang membeli tiket bus atau urusan lainnya padahal pagi-pagi buta. Aku lihat lagi papan elektronik yang lebih besar dan panjang yang ada di atas counter itu. Seperti layaknya di Bandara, papan itu bertuliskan nama-nama bus, jurusan dan jam keberangkatannya dengan detil. Kemudian aku turuni tangga menuju ruang tunggu yang ada di lantai bawah. Lagi-lagi kulihat papan elektronik yang digunakan untuk mengumumkan bus mana yang sudah datang, sudah boarding dan sudah berangkat lengkap dengan nomor halte-haltenya. Sambil istirahat di ruangan itu untuk pergi ke toilet, mencuci muka dan gosok gigi tentunya selama kira-kira 1 jam, aku berkata kepada diriku sendiri, "Wah…enak juga ya, kalau terminal bus dibuat sistem boarding seperti ini". "Pihak pengelola bus sangat bertanggungjawab secara profesional dan penumpang merasa nyaman dan aman", kataku lagi kepada diriku sendiri sebelum aku memutuskan keluar dari gedung terminal itu untuk berjalan-jalan. Merasa aku sendiri, tambah kesepian setelah melangkah keluar gedung terminal. Tak ada teman yang bisa diajak bersama, memang aku memutuskan dan harus pergi sendirian. Bermaksud masuk toko-toko yang ada di sekitar terminal tapi masih jam 7 pagi. Dari informasi yang kudapat, sebagian toko di kawasan Shinjuku baru buka mulai jam 9 dan 10 pagi. Sebenarnya ingin masuk toko elektronik Yodobashi Kamera untuk sekedar melihat-lihat sembari menunggu siang. Menapaki jalanan Shinjuku sendirian. Berputar-putar menghirup udara pagi kota metropolitan Tokyo. Semua orang yang aku lihat semua sibuk berjalan dengan urusannya sendiri-sendiri. Masih aku berada di wilayah terminal bus Shnjuku yang menyatu dengan banyak gedung-gedung perkantoran, pertokoan dan juga stasiun kereta. Banyak aku saksikan rombongan yang berkumpul di depan gedung Mode Tokyo yang menarik konstruksi bangunannya dengan mengendong tas punggung besar, celana dan sepatu gunung. Aku jadi teringat dan berkata sendiri, "Ohh..mereka rupanya rombongan yang akan naik bus menuju Gunung Fuji untuk mendaki". "Asyik juga ya seandainya jadi mendaki Gunung Fuji di liburan Obon ini." pikirku lagi. Sambil melihat kesibukan seorang perempuan pemandu wisata muda menunggu rombongannya dan memberi penjelasan kepada rombongan yang kebanyakan berpasangan suami istri atau pasangan pacaran di sebelah bus besar yang sedang parkir, aku teringat ungkapan seperti ini, "Anda bijak bila satu kali mendaki Gunung Fuji, tapi bodoh jika mendaki dua kali." Hmm.... entah maksudnya apa, tapi sedikitnya melegakanku karena aku tidak mau dianggap bodoh saja. Waktu berjalan begitu tak terasa. Semakin panas udara Tokyo siang itu. "Wajar saja kalau panasnya minta ampun sekitar 36 derajat celcius, musim panas kan ini !?", kataku menenangkan diri sendiri sambil mengambil handuk kecil dari dalam tasku untuk mengusap keringat di leher. Segera aku masuki saja Stasiun Kereta Shinjuku sendirian. Seperti biasanya bila kepanasan akan nyaman masuk gedung-gedung dan dalam stasiun kereta karena adem rasanya. Tak sabar aku ingin pergi ke Stasiun Tokyo seperti rencanaku sebelum berangkat pergi ke Tokyo. Begitu memasuki Stasiun Shunjuku yang luasnya bukan main dan masih harus melewati banyak lorong layaknya ada dibawah tanah, aku memang merasakan nyaman dan ademnya ruangan tapi aku sempat berkata satu kata setelah melihat suasana dalam stasiun, "Gila !". Ternyata terlalu banyak orang bagai semut yang mengangkut makanan dan berebut tak terhitung jumlahnya. Semua adalah penumpang kereta. Aku sendiri sebenarnya tak ingin ikut-ikutan berebut seperti mereka hanya sekedar untuk naik kereta. Tapi kupikir lagi, "Apa boleh buat!". Aku harus naik kereta "JR Yamanote Line" untuk bisa sampai Stasiun Tokyo. Saat membeli tiket di mesin tiket, aku teringat kalau sebaiknya aku membeli tiket  yang tidak harus mengantre saja, di mesin yang kosong orang dan segera masuk menuju kereta. Ingin rasanya segera sampai Stasiun Tokyo ! Kenapa begitu? Selain aku ingin menghabiskan waktuku seharian dengan menarik walau seorang diri di Tokyo sebelum hari berikutnya bertemu dengan teman-teman di acara pertemuan khusus, aku ingin naik "Sky Bus Tokyo" yang tidak ada atapnya. Memang bus yang mempunyai motto "Tokyo View From The Top" itu dirancang khusus untuk wisatawan dengan tujuan supaya bisa melihat pemandangan Tokyo dari atas bus yang berkeliling di rute tertentu. Kereta JR Yamanote Line warna hijau sekitar 20 menit cepat sekali membawaku sampai Stasiun Tokyo. "Ohh, ini Stasiun Tokyo yang pernah aku datangi 12 tahun yang lalu. Tetap sibuk sekali !", pikirku sendirian. Aku keluarkan tiket kereta untuk keluar lewat pintu selatan. Sambil berjalan menuju pintu itu, di lorong-lorong stasiun yang penuh dengan toko dan pejalan kaki aku keluarkan selembar kertas untuk sekedar memastikan aku harus naik Sky Bus jam berapa dan nomor pemesanan tiket yang harus aku tukarkan dengan tiket yang asli setelah sampai di kantor Sky Bus nanti. "Ohh, masih ada waktu 2 jam. Masih lama juga", pikirku sambil memasukkan  kembali catatan itu ke dalam kantong tas hitamku. Aku keluar pintu selatan Stasiun Tokyo. Aku lihat bangunan asli stasiun itu dari luar yang warnanya masih sama seperti dulu, merah bata. Bangunan bersejarah itu sedang direnovasi ternyata. Walaupun Tokyo merupakan kota maju dan modern, ternyata memang selalu melestarikan bangunan-bangunan kunonya. "Sugoi ne (Hebat ya)", aku memuji dalam hati. Waktu masih cukup untuk menuju kantor bus tanpa atap yang kunantikan. Aku menyusuri jalanan sebelah kiri stasiun. Bangunan kios kecil-kecil warna kuning yang merupakan kantor bus wisata "Hato Bus" ternyata masih ada di situ. Teringat 12 tahun yang lalu aku naik bus itu dari depan kantor itu juga untuk wisata keliling kota Tokyo bersama beberapa teman. "Natsukashii ne (Jadi terkenang saja)", pikirku sambil mengama-amati poster-poster yang tertempel di tembok dan pintu-pintu kacanya. Aku susuri lagi jalanan sekitar stasiun yang ternyata hanya sejauh satu blok saja. Kelihatannya dekat, ternyata memakan waktu juga karena aku sering berhenti untuk sekedar melihat, mengamati dan memotret obyek-obyek yang menarikku. Suhu udara Tokyo siang itu menjelang sore tetap saja membuatku selalu mengusap keringat. "Ohh, tidak apalah demi mewujudkan keinginanku naik bus tanpa atap keliling kota Tokyo. Saatnya aku sampai di depan gedung Mitsubishi tempat kantor Sky Bus Tokyo berada. "Wah, megah juga ya gedung ini. Menjulang tinggi sekali. Inikah kantor pusat perusahaan mobil Mitsubishi?", tanyaku sendiri sambil membuka pintu kaca utama gedung itu. "Irasshaimase (Selamat Datang)", kata tiga resepsionis perempuan muda yang ada di balik counter Sky Bus bersama-sama. "Sumimasen. Chiketto o toritai n desu kedo (Maaf, Saya ingin mengambil tiket saya)," kataku kepada salah satu petugasnya sambil menyerahkan kertas kecil catatan nomor pemesanan tiket sebelumnya. "Hai, wakarimashita. Chotto matte kudasai ne (Iya, saya mengerti. Tolong tunggu sebentar ya)", jawab petugas itu sambil mengecek data pemesanan tiketku di komputernya. Aku lihat dan baca nama dia tertulis di tanda pengenal yang tertempel di dada sebelah kirinya. Tertulis "Izumi". Ternyata petugas perempuan muda 25-an tahun itulah pegawai yang menjelaskanku lewat telepon tentang pemesanan tiket Sky Bus dan tata cara melakukan  tour naik bus tersebut keliling Tokyo. Aku masih ingat kata-katanya yang sopan dan lengkap memberi penjelasan. Katanya, karena Sky Bus Tokyo merupakan bus wisata tanpa atap, aku disarankan membawa jas hujan untuk berjaga-jaga kalau hujan turun dan juga harus membawa kantong plastik untuk memasukkan barang-barang penting dan tasku supaya tidak basah. Selain itu, karena bus nya tidak ada toiletnya, aku disarankan supaya pergi ke toilet yang ada di dalam gedung Mitsubishi terlebih dahulu. Memakai topi juga dilarang karena siapa tahu akan terbang terbawa angin kota Tokyo. Dan lain sebagainya dengan lengkap dia menjelaskannya saat itu. "Penjelasan yang bagus dan lengkap sekali!", pikirku sewaktu aku menelponnya untuk memesan tiket karena khawatir kehabisan kursi kosong dikarenakan musim liburan hari itu. "Okyakusama, otamatase shimashita (Bapak pembeli, maaf lama menunggu)", tiba-tiba petugas yang bernama Izumi itu berkata padaku dan menyerahkan tiket yang aku inginkan. Seperti pada umumnya petugas penjualan di Jepang, sambil menyerahkan tiket itu, dia menjelaskan hal-hal mengenai tiket itu termasuk nomor kursi yang harus aku duduki nantinya. Selembar tiket Sky Bus sudah ada ditanganku siang itu. Aku cek dan baca apapun yang tertulis secara komputerisasi dengan cermat. Di tiket itu tertulis sesuai pilihan tourku, yaitu tour dengan bus terbuka jalur Skytree yang merupakan menara tertinggi di dunia yang ditempuh dengan waktu 80 menit tanpa berhenti sekalipun kecuali sewaktu menunggu lampu lalu lintas warna merah menjadi hijau yang jumlahnya  aku tidak tahu. "Wah...benar-benar bakalan bisa naik Sky Bus Tokyo nih !", pikirku sambil melihat beberapa pasang orang menuju halte bus itu yang ada di depan gedung Mitsubishi. Terdengar teriakan canda anak-anak SD yang juga akan naik bus tersebut bersama rombongan teman-temannya sekolah dan beberapa gurunya. Aku merasa sendiri lagi. Aku amati dari sekitar lebih dari 50 orang yang akan naik bus yang berwarna merah nanti tidak ada yang melakukannya seorang diri sepertiku. Perasaan kesendirianku belum ada yang mengusik di kota Tokyo. Terlalu banyak orang tetapi aku tetap merasa sepi. Sebenarnya perasaan tersebut sudah aku sadari sebelum pergi. Itulah satu-satunya alasanku memilih melakukan tour dengan menaiki Sky Bus, karena aku yakin tidak akan terlalu capek berputar-putar keliling kota sendirian dan dengan hanya duduk di atas bus sudah bisa sampai mana-mana dan bisa menikmati pemandangan kota Tokyo selama 80 menit dengan hanya membayar 1800 Yen atau sekitar Rp. 198.000. Dan aku pikir lagi bila masih ada waktu, aku bisa ikut naik bus yang sama tetapi dengan tour rute lain, seperti misalnya ke Istana Kaisar atau Odaiba yang ada di tepi laut. Aku lihat lagi jam di HP ku sudah menunjukkan pukul 16:00, artinya 20 menit lagi sudah harus naik bus dan berangkat mengeliling kota Tokyo terutama rute tour yang ke Tokyo Skytree. Semua penumpang baris untuk menunggu giliran masuk bus megah dengan sebelumnya harus menyerahkan tiketnya kepada petugas yang sekaligus pemandu wisata yang nantinya menjelaskan sepanjang jalan. Aku sengaja mengambil antrean yang agak depan supaya tidak terkesan terlalu lama menunggui bus itu. Akhirnya aku naik bus dan duduk di kursi nomor 12A yang sudah ditentukan. Disebelah kursiku yang ada di tengah-tengah bus dekat jendela sebelah kanan dan dekat juga dengan tangga untuk naik para penumpang, masih ada satu kursi lagi yang mungkin akan diduduki penumpang lain. Setiap penumpang yang yang masuk dan naik ke atas bus aku lihati satu-satu dengan tujuan mengetahui reaksi penumpang tua muda melakukan tour dengan bus itu. Selain itu penasaran dengan penumpang yang akan duduk di kursi yang ada di sebelahku. Semua penumpang kelihatan berwajah gembira layaknya anak-anak yang gekirangan diajak piknik naik bus oleh orangtuanya. Mereka semua duduk dari barisan semua kursi belakang sampai tengah kecuali di kursi sebelahku yang berwarna kuning. "Oh, belum ada penumpang yang duduk di kursi ini",  pikirku sambil melihat barisan kursi yang dilengkapi sabuk pengaman paling depan sampai tengah masih kosong. "Mungkin masih diluar orangnya", pikirku lagi. Tiba-tiba suasana bus menjadi ramai sekali karena rombongan anak-anak SD dan gurunya mulai memasuki dan menaiki bus. Mereka semua duduk di semua kursi yang aku lihat masih kosong tadi. Seorang guru laki-lakinya memandunya dengan tegas supaya mereka cepat naik dan duduk serta memakai sabuk pengaman.

1346519925259977975

Saat pemandu perempuan yang masih muda memasuki bus terakhir kali sambil menghitung jumlah penumpang dengan alat penghitung dan memberitahukan dengan alat komunikasi khusus kepada sopir  kalau jumlah penumpang sudah genap atau lengkap dan tanpa masalah, aku tersadarkan lagi karena aku akan kesepian lagi karena tidak ada penumpang yang duduk di kursi sebelahku. Kosong ! "Ohh, benar-benar sendirian di dalam keramain diriku", gumamku sendirian sambil memasang sabuk pengamanku. Aku semakin menguatkan diri saat itu dan berusaha tersenyum dan bergembira seperti penumpang bus yang lainnya. Di Jepang memang sudah membudaya kalau seseorang itu wajar tidak bicara kepada orang lain termasuk orang yang ada di sebelahnya walaupun melakukan hal yang sama. Hal itu dianggap sopan karena dipikir tidak baik menganggu dengan ngobrol ngalor-ngidul kepada orang yang belum dikenalnya. Bus sudah berangkat dari depan gedung Mitsubishi menuju depan Stasiun Tokyo. Semua penumpang bersorak gembira karena bisa menikmati pemandangan semua gedung di sekitar sambil dihembus angin tengah kota Tokyo. Anak-anak SD yang duduk di depan mengangkat tangannya meraba hempasan angin dan menurunkannya saat bus berhenti di lampu merah. Akupun agak terbawa suasana untuk bergembira menikmati pemandangan. Berusaha sedikit-sedikit tersenyum sambil menenteng kameraku. Bus berjalan lagi melewati jalanan nan lebar Hokazaki dan Komagata. Aku harus sesekali menegakkan leher supaya bisa melihat keindahan pemandangan gedung-gedung tinggi. Terdengar suara pemandu wisata yang berdiri di bagian paling belakang bus. Dia menerangkan nama-nama gedung yang dilewati beserta keadaan sekitarnya, seperti nama jalan dan sejarahnya juga. Saatnya bus melaju melewati jalan yang ada di bawah jalan layang menuju pintu gerbang jalan tol. Semua penumpang berteriak dan terkejut karena jarak kepala kami dengan  atap jalan layang pertama sangat pendek dan hambir bisa memegangnya. Serasa melewati jembatan dari bawah atau atas sungai. Aku berusaha mengabadikan dengan kameraku beberapa kali pemandangan yang gak mungkin di nikmati dengan mobil biasa di Jepang. "Wah...kok semua senang sekali yah. Kayak anak-anak saja !", batinku dalam hati sambil berusaha berdiri mencoba melihat pemandangan lebih jauh. Saat itu, aku teringat kehidupan di kota kelahiranku di Indonesia yang mana banyak sekali orang naik mobil atau truk bak terbuka. Dengan begitu pastinya mereka bisa menyaksikan pemandangan 380 derajat seperti rombongan tour yang bersamaku. Di Indonesia, hal itu suatu peristiwa yang biasa, yang tidak membuat heran. Tetapi di Jepang, naik mobil yang terbuka atapnya suatu hal yang luar biasa ! "Sugoi ne... Sugoi ne... (Hebat ya...Hebat ya...)", teriak anak laki-laki 12 tahunan yang duduk di kursi belakangku bersama ayahnya. Bus melaju dengan kecepatan agak lebih cepat dari sebelumnya karena melewati jalan tol. Pemandangan Tokyo Skytree mulai terlihat dari jalan tol. Sesaat pemandu memberitahukan hal itu, beberapa penumpang terutama anak-anak SD tadi mengangkat kedua tangannya dan melambaikan. "Tokyo Skytree miete ru...miete ru (Tokyo Skytree kelihatan...kelihatan...)", kata ibu-ibu paruh baya yang duduk di sebelah kiriku. Bus berputar jalan tol dan turun memutari Tokyo Skytree satu kali. Menara tertinggi di dunia itu semakin terlihat jelas. Hal itu semakin membuat hampir semua penumpang bus memotret kemegahannya. Kesempatan memotret datang berkali-kali karena bus sering berhenti di lampu merah. Terlihat dari atas bus para pejalan kaki dan pengunjung Tokyo Skytree yang sedang mengantre panjang sekali untuk menaiki menara itu. "Maklum musim liburan panjan", batinku. Aku tidak terpaku untuk memandangi gedung-gedung tinggi dan Tokyo Skytree saja saat itu. Kulihat pemandangan yang ada di bawah juga. Banyak orang yang menyaksikan bus yang aku naiki melihat dengan gembira, seakan heran seperti melihat tontonan saja. Saat bus memasuki kawasan Asakusa, yang merupakan obyek wisata yang terkenal dengan kuil dan perbelanjaan oleh-oleh Nakamise nya di Tokyo, banyak orang melambaikan tangan dari sebelah kanan bus. Akupun otomatis, spontas membalas lambaian tangannya dengan tangan kiriku. Aku coba angkat kameraku dengan tangan kanan, mereka melambaikan tangan lagi seakan siap aku potret. "Cpret...cpret...cpret...", aku potreti mereka satu-satu dengan kamera yang memang sudah aku setel dengan kemampuan multiple shot. Berapa kali aku telah memotret gedung dan orang yang menyambutku disepanjang jalan. Tak sadar ternyata bus telah melewati kawasan Kappabashi yang terkenal dengan jembatannya dan kawasan Ueno yang terkenal dengan taman dan kebun binatangnya. Saat bus memasuki kawasan Akihabara yang terkenal dengan pusat perbelanjaan seperti toko-toko elektronik seperti kamera, mangga, game, anime, aku melihat banyaknya orang yang menyemut. Ada yang berjalan dan ada yang berlari-lari menyeberang jalan. Papan-papan reklame besar penuh warna lengkap dengan lampu indahnya menambah indah dan maraknya pemandangan dari atas bus. Lagi-lagi banyak orang dari anak-anak sampai nenek-nenek melambaikan tangan padaku. Aku tetap saja membalasnya dan memotretinya dengan kamera multiple shot ku. Saat bus berhenti di lampu merah beberapa menit, aku dikejutkan dengan dua orang perempuan  muda Jepang yang sangat cantik menurutku. "Wow...", aku menarik nafas panjang. Mereka melihat bus yang aku tumpangi beberapa detik. Melihat dari bagian depan sampai belakang. Jujur saja, saat matanya sampai tak sengaja menatapku yang mungkin sangat terlihat jelas olehnya karena aku satu-satunya penumpang yang berdiri dengan cara melepaskan sabuk pengaman. Mata mereka melihatku tanpa ekspresi. Dingin ! Tetapi saat aku angkat kameraku, mereka tersenyum dan berani berpose untuk diambil fotonya. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan begitu saja. "Cpret...cpret...cpret..", aku menekan tombol kamera memotret mereka berdua beberapa kali. Tidak cukup begitu, mereka juga melambaikan tangan kepadaku. Orang-orang sekitar mereka pun yang sedang menunggu lampu hijau menyala untuk menyeberang jalanan di Akihabara juga melambai-lambaikan tangannya. "Seperti artis saja aku!", pikirku sendiri sambil membalas lambaian tangan mereka. Selanjutnya, aku lebih tertarik melihat banyaknya orang yang menyaksikan diriku seperti artis ibukota yang sedang pawai keliling kota. Tetap saja aku memotreti pemandangan dan orang-orang yang melambaikan tangan kepadaku. "Wahh...kalau begini terus kapan aku gantian difoto?", tanyaku sendiri. Sesaat aku punya ide untuk meminta bantuan bapak muda yang duduk dibelakangku untuk mengambil foto dengan kameraku. "Sumimasen. Chotto shashin o totte moraemasu ka (Maaf. Boleh minta tolong difotokan saya!)" , aku memohon kepada bapak itu. Aku pasang aksi. Sedikit menengok kebelakang dengan senyuman khasku. Dua jepretan yang dilakukan untukku lumayan buat kenang-kenangan selama aku jadi "artis" di Tokyo. Foto berharga untukku ! Tak terasa bus sudah sampai di  kawasan Nihonbashi dan sebentar lagi akan sampai di gedung Mitsubishi, tempat berangkat Sky Bus sekitar satu setengah jam yang lalu. Terlihat jembatan megah dan juga tentunya masih gedung-gedung menjulang tinggi. Mendadak aku tertegun sendiri di atas bus sambil membereskan penutup lensa kameraku yang tadi sempat terjatuh tanpa aku sadari. Kututup sementara lensa kameraku. Sesaat bersamaan dengan itu, aku teringat akan keadaan yang bertolak belakang dengan keadaan normal sehari-hari yang aku alami. Setiap hari terlihat sikap orang Jepang yang serius dan malu-malu untuk menatap, melihat dan menegur orang yang tidak dikenalnya. Mereka juga malu dan cenderung tidak mau untuk difoto. Jika aku melakukannya, memotret mereka tiba-tiba tanpa sepengetahuan dan ijin dari mereka, aku akan dikatakan seseorang yang melanggar etika dan tergolong tidak sopan. Singkat kata, tidak bisa seenaknya saja bertingkahlaku di depan orang Jepang. Tetapi kejadian yang baru saja aku alami tidak kaku seperti itu. Orang Jepang di sempanjang jalan yang melihat Sky Bus yang menarik pemandangannya selalu melihat dengan senangnya dan bahkan mau melambaikan-lambaikan tangannya serta mau berpose untuk aku foto. Tingkahlaku yang mengejutkan ! Aku berkesimpulan bahwa jika kita menarik dan tergolong menghibur, pasti orang Jepang, walau tidak semuanya akan tertarik pada kita juga. Jika kita menarik pasti mereka tertarik!. Hal itu mirip seperti dalam dunia bisnis di Jepang bahwa setiap perusahaan akan berlomba-lomba menarik para konsumennya dengan menciptakan desain-desain baru dengan kelebihan masing-masing setiap periode tertentu. Kalau sudah begitu apa yang terjadi? Konsumen akan tertarik dan membelinya. Akhirnya, Sky Bus telah sampai di depan gedung Mitsubishi lagi yang jaraknya sekitar lima menit jalan kaki dari Stasiun Tokyo. "Otsukaresama deshita. Arigatoo gozaimashita (Terimakasih, anda telah memakai jasa kami) ", kata pemandu wisata memberi ucapan terimakasih kepada semua peserta tour termasuk aku. Semua penumpang turun dari bus dengan teratur. Akupun juga begitu, hanya saja aku turunnya sengaja menunggu sampai semua penumpang termasuk anak-anak SD tadi yang ramai sekali dan senangnya luar biasa turun dari bus. Saatnya aku turun dari bus dengan langkah perlahan dan disambut dengan senyuman Pak sopir dan pemandu yang membungkukkan badannya sambil berkata kepadaku, "Otsukaresama deshita". Akupun membalasnya juga dengan membungkukkan badan kepada mereka sambil berkata," Basu no ue de genoujin mitai desu ne (Di atas bus kelihatan seperti artis ya?". "Aa, soo desu ka (Oh, begitu ya)", Jawabnya sambil melontarkan senyuman perpisahan. Akhirnya,  aku melangkah sambil menatap dan memandangi sosok bus merah dan megah tak beratap itu dan berkata padanya dengan suara membisik, "Terimakasih Sky Bus yang tampan dan gagah, kau telah membuatku tidak kesepian walau hanya sebentar di Tengah-tengah kota Tokyo. Kau baik dan nyaman, pantas saja dirimu selalu dinaiki para artis dan olahragawan Jepang yang terkenal untuk melakukan parade kesuksesan dan kemenangannya berkeliling kota mengunjungi dan berterimakasih kepada seluruh penduduk kota Tokyo yang mewakili seluruh masyarakat Jepang." Terik matahari sudah melemah dan tidak begitu memancarkan kejamnya lagi. Siang hari berlalu dan menjadi sore menjelang petang. Aku melangkah sendiri menuju Stasiun Tokyo untuk naik kereta JR Yamanote Line warna hijau lagi menuju kawasan Shinjuku dan kemudian oper kereta Keio Line sampai kawasan Hatagaya, tempat dimana hotelku berada. Keretaku pun melaju dengan cepatnya. Hanya satu hal yang terpikirkan dalam dudukku di dalam kereta, yaitu ingin istirahat cukup di dalam kamar hotel untuk mempersiapkan pertemuan dengan teman-teman esok hari dalam suatu acara penting "Bedah Buku Shocking Japan dan  Mengupas Kompasiana Blogshop" di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Owari. Tamat Tori Minamiyama Kyoto, 1 September 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline