Lihat ke Halaman Asli

Lalu-Lintas yang Tenang dan Dewasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Bersyukur bisa menikmati lalu-lintas yang tenang dan dewasa”. Kalimat tersebut adalah status saya di jaringan sosial facebook beberapa hari yang lalu. Mendadak punya pikiran seperti itu karena memang hidup saya di Jepang tidak terlepas dari berlalu-lintas, tepatnya harus mengemudikan mobil sekitar 100 Km setiap hari pada jam kerja. Bukannya saya berprofesi sebagai sopir pribadi atau sopir angkutan di sini,hehe… tetapi menjadi sopir untuk diri sendiri yang harus melajo dari rumah ke tempat kerja yang ada di luar perfectur Kyoto yaitu di kota Iga-Ueno(kota asal-muasalnya ninja) yang jaraknya kira-kira 50 Km, jadi memang benar kalau pergi dan pulangnya (PP) menjadi sekitar 100 Km. Memang jarak itu jauh dan membuat capek tetapi karena suasana jalan raya dan kondisi jalannya lain dengan yang ada di Indonesia maka serasa nyaman-nyaman saja melakukan perjalanan yang hanya sejauh itu. Pernah masalah ini saya sharingkan sama sahabat saya yang tinggal di Indonesia. Apa komentar dia? Dalam Bahasa Jawa dia berkomentar, “Walah-walah adohe pol, opo ora kesel?”. Yang artinya, “Wah..wah..jauh amat, apa gak capek?”. Secara umum memang dia tidak keliru berkomentar seperti itu karena pola pikir dan sudut pandangnya masih tentang berlalu lintas di Indonesia. Suasana lalu lintas di Jepang sangat lain dengan lalu lintas di Indonesia. Sebagai gambaran tentang lalu lintas jalan raya di Jepang, berikut bisa saya contohkan yang saya lihat dan alami sendiri. Selain faktor fisik mobilnya yang berbeda, ada lagi yang lain, yaitu tidak terdengarnya klakson mobil. Mereka yaitu para pengemudi mobil hanya mengklakson JIKA DARURAT saja. Tidak ada ketergesaan, salip-menyalip, dan yang pasti belok kanan harus setelah jalur lawan selesai lewat. Kecuali memang kondisi jaalannya kosong atau diberi “beam” oleh pengemudi di jalur lawan. Wahhhhhh masalah “beam” atau lampu besar yang terbalik dengan di Indonesia ini benar-benar membuat saya pusing awalnya. Kalau di Indonesia orang memberikan lampu “beam” berarti… “SEENAKNYA AJE LU, JANGAN MASUK DULUAN GUE MAU LEWAT NIHH!” , sedangkan di Jepang, “MONGGO MAS, silakan masuk duluan aku tunggu…..”. Sehingga awal-awal menyetir saya masih suka bingung kalau sempat di-beam oleh pengemudi lain, sampai berkali-kali di-beam baru “ngeh” dan jalan…. tak lupa mengangkat tangan mengucapkan terima kasih. Kondisi ini juga sama jika kita ingin masuk dalam antrian mobil yang panjang. Dan tak lupa setelah diberi jalan, biasanya kita menyalakan “lampu hazard” 2-3 kali sebagai isyarat “arigatou–terima kasih”. Pertama saya tidak mengerti kenapa setiap mendapat jalan, kita sebagai pengemudi harus selalu menyalakan lampu hazard itu. Baru saya setelah bertanya dan mendapatkan penjelaskan bahwa itu “etika berkendara” saya juga selalu berusaha menyalakan hazard untuk menyatakan terima kasih. Kecuali kalau terburu-buru atau daripada bingung saya kadang membunyikan klakson ringan satu kali., yang mana ini juga termasuk kebiasaaan etika berkendara di sini. Lampu Hazard juga dipakai jika tiba-tiba mendadak terjadi kemacetan/antrian di highway supaya mobil di belakang kita “alert” dan berhati-hati sehingga tabrakan beruntun dapat terhindari. Pejalan kaki di Jepang sangat diutamakan, jadi tidak ada tuh yang “bablas” Zebra Cross jika ada yang mau menyeberang. Mobil harus menunggu pejalan kaki. Hal ini yang membuat saya super waspada, karena merasa salah besar bila saya sempat menabrak pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan di zebra cross apalagi mereka nenek-nenek atau anak-anak. Sangat senang melihat anak-anak SD yang imut-imut menyeberang sambil mengangkat tangan kanannya. Pertama saya pikir kenapa harus angkat tangannya ya? Anak laki-laki saya (Hiroki), juga sering melakukan hal ini walau menyeberang jalan bersama saya pun. Dia memberi alasan seperti yang di ajarkan gurunya di Taman Bermain kenapa mengangkat tangannya waktu menyeberang jalan. Alasannya yaitu karena tinggi badan mereka masih pendek, jadi siapa tahu tidak terlihat oleh pengemudi mobil jadi lebih baik angkat salah satu tangannya. Selain itu di badan mereka pasti ada warna kuning sebagai alert. Entah di ranselnya atau topinya. Pada intinya yaitu menyetir di Jepang itu harus sabar, pelan dan kalaupun cepat harus penuh perhitungan. Karena jika sempat terjadi kecelakaan akan sangat repot terutama waktu yang akan terbuang untuk urusan dengan polisi dan pihak asuransi karena tidak mengenal istilah damai di tempat di sini, banyak stasiun dan juga banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda. Apalagi kalau harus berada di belakang pengemudi amatir yang menggunakan tanda stiker “hijau” yang disebut wakaba mark (melambangkan musim semi). Wakaba artinya daun muda. Dan juga pengemudi lansia yang mengunakan tanda stiker “merah” yang disebut momiji mark (melambangkan musim gugur). Bila kita mengemudikan mobil berada dibelakang mobil bertanda wakaba atau momiji tersebut harus hati2 karena si-wakaba iu baru saja mendapat SIM yang artinya belum lancar sekali mengemudian mobilnya dan si-momiji yang artinya pengemudi lansia yang artinya dia sudah tidak bisa selihai dahulu waktu mudanya. Hal inilah menurut saya salah satu etika berlalu lintas yang bisa mencegah kecelakaan di jalan raya. Sekaligus keterangan diatas menjawab pertannya beberapa teman di Indonesia yang bertanya tentang tanda stiket tersebut. Stiket Wakaba kira-kira ditempel sekitar satu tahun tetapi karena tidak ada keharusan menempelnya saya pun tidak menempelkan tanda itu di mobil yang saya pakai setelah saya mendapatkan SIM di Jepang pertama kali kira-kira 5 tahun yang lalu. Maksud hati berhati-hati dalam mengemudikan mobil saja tidak cukup karena sebagai orang asing disini pasti berbagai masalah di jalan raya akan muncul. Sebagai contoh satunya melanggar batas kecepatan atau melanggar larangan belok di perempatan atau pertigaan jalan. Jika kita melanggar hal seperti itu, polisi akan menangkap dan mendenda kita walaupun dengan bahasa dan sikap yang sopan. Untuk pelanggaran seperti itu saya pernah rela membayar denda 6000 yen (kira-kira Rp. 600 Ribu) untuk pelanggaran melampaui batas kecepatan dan membayar denda sebesar 15.000 yen (kira-kira Rp. 1,5 Juta) untuk pelanggaran salah masuk jalur. Hhmnn…bayangkan saja besar dendanya…maka dari itu pelangaran ini sangat dihindari para pengemudi walau cara pembayaran dendanya cukup di kantor pos karena selain mahal sekali juga kita kena point yang bisa menjadikan SIM kita dicabut dan kita tidak bisa punya ijin mengemudikan mobil di Jepang lagi. Berlalu-lintas yang tenang dan dewasa rasanya tidak bisa diciptakan dengan sekejab waktu melainkan harus dirintis dan dilakukan dengan serius setiap waktu oleh siapapun baik pengemudi, pejalan kaki dan pihak berkuasa pengatur lalu-lintas. Rasanya sedih juga membaca berita banyaknya kemacetan dan kecelakaan yang terjadi di Indonesia pada waktu pra dan pasca lebaran. Mungkin ada baiknya mulai saat ini semua tidak ada kata tidak harus bersikap dewasa dalam berlalu lintas...Hehe...harapan ini kalau saya teruskan takut dikira pejabat jalan raya saja... Kyoto, 24 September 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline