Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Koala Kumal

Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koala Kumal. Yang punya akun Twitter pasti paham apa itu. Yang belum, saya kasih tahu. Itu judul bukunya Kanjeng Prabu Twitter Yang Dipertuan Agung Raditya Dika, SE, Wirahadi Kusuma. Ya, itu buku teranyar BELIAU -kalau tidak salah, saya sendiri belum baca-. Saking banyaknya follower Radit, meskipun tidak difollow, ada-ada saja, tau-tau bertengger di TL twit dia yang di-RT. Sob, 11.3 M followers itu bukan angka sembarangan, kalau tiap akunnya dihargai Rp 1,- saja, sudah bisa buat modal nikah. Luar biasa!

Tapi tulisan ini bukan mau membahas Radit, melainkan Fenomena Koala Kumalnya. Konon kabarnya, Koala Kumal terinspirasi dari legenda seekor koala yang pergi meninggalkan hutan tempat kelahirannya, kemudian binggung saat ia pulang karena hutan tersebut telah rata dengan tanah. Sambil bingung, koala itu yakin disanalah rumahnya, tidak mungkin salah.

Masa yang Terhenti di Kepala

Lain paha,

lain dada.

Lain masa,

Lain rasa.

 

Entah apa nama ilmiah dari fenomena ini -tidak perlu cari di google-, dan untuk memudahkan, anggap saja kita sepakat menyebut sebagai fenomena koala kumal.

Sebagai orang daerah, Jakarta adalah pencapaian tertinggi dari perjalan kehidupan seseorang. Maka berangkatlah saya ke sana satu tahun selepas SMA,  membawa tingginya harga diri anak muda dan nama baik keluarga. Untuk alasan ekonomis, saya berusaha sekuat-kuatnya hati yang menahan rindu untuk tidak pulang selama beberapa tahun pertama.

Singkat cerita, barulah 3 tahun kemudian kesempatan pulang yang singkat itu datang. Senang bukan kepalang. Girang, segirang-girangnya. Persiapan pulang telah rampung bahkan 3 hari sebelum jadwal keberangkatan. Di kepala terputar film-film tentang masa SMA dulu bersama kawan-kawan, tentang cita rasa masakan ibu yang tiada banding, tentang bau angin dan kesejukan kota kelahiranku itu. Film-film itu yang selalu kuputar ketika menghadapi masa sulit di Jakarta: kadang makan sehari sekali, kadang tidak makan. Seperti ada energi merasuk ketika menonoton film-film itu dengan mata terpejam. Semua gambar-gambar itu terpajang di dinding-dinding otakku. Saat-saat terindah dalam hidupku, sengaja kubekukan dan kupajang di situ.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline