Ahok dihukum 2 tahun penjara atas kasus penodaan agama akibat tekanan massa FPI dan FUI. Dunia hukum dan peradilan berduka. Indonesia pun terbelah. GNPF-MUI dan kelompok radikal seperti FPI, HTI, FUI dan partai agama PKS tentu tengah merayakan kemenangan, bahkan muncul syukuran para pentolan Gerindra atas dipenjaranya Ahok. Sebaliknya kelompok pecinta NKRI dan pluralisme terkejut, marah dan menyayangkan keputusan hakim tersebut. Namun, sesungguhnya segala aksi dan kriminalisasi ditujukan untuk menyingkirkan sepak-terjang Presiden Jokowi, Ahok adalah sasaran perantara.
Sejak awal gerakan menghentikan Presiden Jokowi, dan penolakan terhadap Ahok, dilakukan sejak tahun 2012. Sejak pencalonan Presiden Jokowi dan juga bahkan pencalonan Cagub DKI 2012, Jokowi dan Ahok ditolak secara membabi-buta oleh MUI DKI Jakarta, oleh berbagai organisasi seperti FPI.
Sebab terbesar penolakan terhadap Jokowi dan Ahok adalah dipastikan para koruptor tak akan mendapatkan kue korupsi. Pesta-pora koruptor akan suram dan tidak seperti seperti masa 10 tahun rezim SBY dengan misalnya Petral yang merajalela yang membuat mafia Petral Muhammad Riza Chalid dan kaki tangannya menghimpun dana besar sampai Rp 2,000 triliun.
Untuk itu maka Jokowi – dan juga Ahok – harus dihentikan di DKI tempat ratusan miliar rupiah uang rakyat dicanangkan menjadi bancakan para koruptor. (Langkah Jokowi dan dilanjutkan Ahok mengelola dana APBD dengan salah satunya Ahok menemukan APBD 2016 siluman sampai ratusan miliar.) Jelas uang pencalonan menjadi anggota DPRD DKI Jakarta tidak balik modal dengan Ahok – dan Jokowi menjadi Gubernur. Ini membuat para anggota DPRD DKI Jakarta berniat menjatuhkan Ahok sejak awal kepemimpinannya.)
Gerakan menolak Jokowi-Ahok ini terus berlanjut dan hanya kalah oleh gerakan rakyat – Netizen dan warga sukarelawan yang melakukan perlawanan. Di Pilgub DKI akhirnya Jokowi-Ahok menang setelah upaya penggembosan dengan isu agama gagal dilakukan. Meskipun manusia seperti Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Rhoma Irama melakukan kampanye atas nama agama. Bahkan tambah bonus fatwa MUI DKI dan kampanye di tempat ibadah. Kegagalan menghambat laju Jokowi-Ahok ini membuat kalangan Islam radikal makin kesetanan – ditambah dengan keterlibatan para koruptor campur tangan dalam gerakan.
Gayung bersambut di 2014 ketika Gubernur DKI Jakarta menjadi kontender terdepan sebagai capres. Para anti Jokowi dan koruptor berbaris menghambat melalui berbagai cara termasuk isu fitnah: dengan terbitan Obor Rakyat, misalnya, selain sebaran strategis, terstruktur, dan masif terorganisikan berbagai berita dan kampanye yang berbau SARA dan fitnah seperti Jokowi keturunan China, atau bahkan menuduh Jokowi sebagai keturunan PKI – suatu fitnah yang dalam politik berhasil membangun imej dan citra, tak peduli kebenarannya, yang membuat elektabilitas Presiden Jokowi menyurut dalam 1 bulan menjelang pemungutan suara.
Strategi menghentikan Jokowi menjadi Presiden RI ini gagal hanya karena kekuatan relawan dan partai yang saat itu solid. Peran media, netizen dan gerakan moral menginginkan Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang bersih yang membuat perlawanan all-out. Relawan memiliki peran besar memenangkannya. (Namun di balik itu ada strategi yang dahsyat dalam melawan kampanye hitam yang berlangsung.)
Pasca kemenangan Jokowi, pasangan Prahara (Prabowo-Hatta Rajasa) mengalami keterkejutan kekalahan. Sebelum pencoblosan semua lembaga memridiksi 50-50 kemenangan bagi kedua pasangan capres. Trend normal survei yang menempatkan Prahara terus naik memridiksi Prahara akan memenangi kursi Presiden RI. Hingga sikap jumawa muncul seperti ucapan Amien Rais yang bahkan sesumbar akan jalan kaki Jogja-Jakarta kalau sampai Prahara kalah. (Nadzar yang sampai Amien Rais meninggal nanti tak akan dibayar.) Saking pede-nya maka seluruh Timses dan pendukung Prahara tidak berpikir akan kalah – sama dengan ketika Ahok di atas angin dianggap akan menang di DKI Jakarta.
Kekalahan telak menohok di Pilpres 2014 itu membelah politik – dan berdampak sosial – di Indonesia. Aneka upaya rekonsialiasi gagal. Bahkan keterpecahan menjadi senjata dan modal style kampanye jangka panjang Prabowo: semua kinerja Jokowi harus digambarkan buruk, dengan komentar komandan kampanye abadi Fadli Zon dan didukung oleh Fahri Hamzah. Polarisasi ini tetap dipertahankan dan membelah kepentingan Indonesia. Energi Presiden Jokowi pun dalam 1 tahun pemerintahan banyak terkuras oleh intrik politik.
Kini, masa jelang Pilpres 2019 pun semakin mendekat. Konsistensi strategi Prabowo dalam beroposisi berhasil dengan baik – meskipun tetap belum bisa merangkul partai kecil Demokrat karena persoalan pribadi SBY dan Prabowo.
Kegagalan strategi besar di 2014 – yang mereka hampir menang – dipraktikkan dalam Pilgub DKI Jakarta, wilayah dengan penduduk cerdas dan pluralis. Menang. Angin kemenangan berpihak ke Prabowo. Strategi sentimen SARA dilengkapi dengan menggunakan masjid dan mimbar ceramah agama dilakukan dengan Eep sebagai ahli strategisnya – dengan didukung oleh cyber army PKS dan Gerindra sendiri secara nasional. Hasilnya perang opini Anies-Sandi – yang memiliki modal dan strategi terintegrasi – berhasil menggunduli Ahok-Djarot yang popular namun tidak terorganisir.