Tak dapat disangkal. Tekanan psikologi politik bagi warga DKI saat ini terlalu berat untuk dipikul. Polarisasi antar warga sedemikian besar. Pilkada DKI pun menjadi sangat sederhana jika dianalisis secara psikologis-politik. Semua unsur yang berkepentingan terpolarisasi berjuang untuk: (1) FPI yang mengatasnamakan Islam radikal, dan (2) Ahok yang mengatasnamakan demi NKRI. Yang menjadi pokok masalah, pembuat galau, yang membuat masyarakat kebingungan adalah adanya pilhan fakta dan ilusi.
Mari kita telaah dilema pilihan warga DKI Jakarta secara psikologis sambil menertawai kelakuan FPI dengan kaki tangannya Anies dengan menari menyanyi berdansa bahagia suka-cita senang koprol jungkir balik riang ria selamanya.
Pertama, dilema tekanan psikologi-politik nomor satu khusus bagi warga DKI beragama Islam adalah kebingungan akibat simpang siur memaknai al Maidah 51.Secara gamblang ajaran Islam rahmatan lil alaminPBNU dengan Said Aqil Siradj menggaris bawahi bahwa Muhammad SAW tidak pernah membuat negara Islam, namun membuat negara Madani. Ini fakta sejarah kebenaran Islam yang pokok.
Konflik dan perdebatan tentang makna aulia dan fakta tentang kenyataan bahwa dalam zaman Rasullullah SAW tidak ada pemilihan umum – yang ada adalah musyawarah – yang tentunya musyawarah secara internal satu golongan yakni semua yang diajak berembuk adalah umat Islam. Maka menjadi wajar dan tak masuk akal jika pemimpin keagamaan (bukan umara) dipilih dari kalangan non-Muslim.
Fakta selanjutnya adalah Rasullullah SAW tidak pernah menciptakan Negara Islam. Rasulullah SAW menciptakan negara madani – civil society – maka disebutlah madinatul munawarah alias Madinah.
Ketika Rasullullah SAW masih hidup, kehidupan di Madinah menghargai seluruh agama termasuk Yahudi, Kristen, dan Zoroaster alias ajaran Zarathustra yang disebut Majusi, serta keyakinan lainnya. Muhammad SAW pun melakukan perdagangan dengan Yahudi dan Nasrani.
Diyakini pula sebelum Rasullullah SAW wafat, tempat ibadah Sinagog, Kuil, dan Gereja berdiri di dan atau sekitar Madinah. Setelah Rasullullah SAW mangkat, maka yang tersisa adalah perseteruan politik dan pembunuhan demi pembunuhan yang mencampuradukkan Islam dan politik.
Kulminasi perseteruan politik menghasilkan Sunni dan Syiah yang saling mengaku dan menganggap diri sebagai Islam yang paling benar – padahal keduanya adalah Islam. Dan, Islam di dalam Al Qur’an tidak pernah diberi embel-embel sunni maupun syiah. Yang ada justru Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Dari sini telah jelas bahwa yang dimaksud aulia alias allies alias sekutu atau jika diartikan sebagai pemimpin, di sini bukan pemimpin politik; namun pemimpin agama. Mustahil masyarakat muslim memilih sekutu atau pemimpin keagamaan (aulia) selain dari golongannya. Sekali lagi bukan pemimpin politik.
Dilema dan tekanan psikologi ini sungguh berat yang bahkan digemborkan terkait dengan aqidah, dengan agama, dengan iman, dengan keyakinan, dengan surga dan bahkan neraka. Kalangan masyarakat Islam model ini secara rerata memercayai, dan jelas tidak salah memiliki persepsi sendiri terkait kebenaran mutlak keyakinan untuk memilih pemimpin (agama, bukan umara, apalagi pemimpin politik).
Maka terkait pilkada DKI Jakarta, warga Muslim menghadapi dilemma ini semakin menemukan titik kulminasi ketika dihadapkan kepada kenyataan (1) memilih Ahok-Djarot yang telah nyata membangun DKI Jakarta, atau (2) memilih Anies yang didukung oleh FPI yang sering beringas dan provokatif.