Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Pasca Debat Pilgub DKI, Agus, Ahok, Anis, dan Gadis Sufi dari Gua Wirosableng 212

Diperbarui: 28 Januari 2017   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampanye Ahok I Sumber Kompas.com

Pilkada DKI adalah pilkada yang paling panas dengan pasangan calon Agus-Silvi, Ahok-Djarot, dan Anies-Sandi. Pilgub DKI menjadi sangat penting bagi keberlangsungan DKI Jakarta untuk lima tahun ke depan yang sangat menentukan.  Warga DKI Jakarta yang cerdas tentu akan semakin paham tentang pilihannya setelah debat semalam yang memetakan kekuatan dan kemampuan para kandidat. Maka hasil dari debat Pilkada DKI Jakarta menjadi barometer kekuatan pendukung masing-masing pasangan kandidat.

Untuk Pilkada DKI Jakarta ini ada baiknya warga Jakarta membaca kisah perempuan sufi dari Gua Wirosableng 212 dengan hati gembira ria riang senang bahagia suka-cita bahagis menari menyanyi koprol tertawa sambil merenungi pilihan antara Agus, Ahok atau Anies selamanya senantiasa.

Aku terkejut. Di depanku, seorang muridku, Fahira Risiq duduk tanpa mengenakan pakaian selembar pun. Tampak tubuhnya yang molek dengan berbagai bagian tubuh nyaris tak tertutup. Rambut panjangnya yang lebat menutupi dadanya. Pun juga dua pasang kaki disilangkan menutup semua bagian vital tubuhnya, dengan sehelai kulit kayu bak rok zaman Flintstone.

Untung cahaya di dalam gubuk aku hanya diterangi oleh pelita dari minyak jarak yang aku ambil dari pekaranganku. Jadi temaram.

“Ini untuk menutup tubuhmu!” kataku sambil memberikan sehelai sarung buatan Tegal.

“Tidak Guru, maaf. Haram!” sahutnya menolak sarung untuk menutupi tubuhnya.

Fahira Risiq duduk bersila di tanah dan tidak mau duduk di tikar yang tergelar. Alasannnya mendong bahan tidak dibabat dengan pisau dan pewarna buatan untuk tikar dibuat di pabrik dengan bahan berasal dari negeri Barat – yang kafir.

“Ingat, Fahira. Gubuk dengan atap rumbia ini pun dipotong dengan pisau yang bajanya buatan Barat!” kataku.

Fahira terdiam. Fahira tahu bahwa menjadi haram masuk rumah yang menggunakan teknologi Barat. Wah.

“Maaf, Guru, malam-malam saya datang!” kata Fahira Risiq.

Aku terdiam, memalingkan wajahku ke sisi kanan agar tidak melihat tubuhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline