Menarik. Tiga koalisi terbangun untuk Pilgub DKI 2017. Koalisi Cikeas dengan Agus-Sylviana, Koalisi Kartanegara dengan Sandiaga-Mansyur/Anies, dan Koalisi Kerakyatan Ahok-Djarot. Terbentuknya tiga koalisi para partai itu tak lepas dari perancang strategi politik di Indonesia yang spektakuler.
Peran besar kekuatan politik tersembunyi itu bekerja kembali dengan sempurna. Megawati menunjuk Ahok-Djarot pada detik terakhir. SBY dan Prabowo pun terpecah. Hasilnya Koalisi Kekeluargaan rontok berkeping tiga dengan calon: Ahok, Sandiaga dan Agus.
Mari kita telaah peran besar the Operators dalam mengatur strategi politik Pilgub DKI 2017 dengan hati gembira ria riang senang sentosa bahagia suka-cita koprol menertawai dan ngakak habis menonton keputusan politik konyol SBY dengan Agus dan Fadli Zon dengan Sandiaga Uno selamanya senantiasa.
Munculnya tiga kandidat cagub itu sesuai dengan rancangan dan arahan strategi politik untuk Ahok-Djarot. Di balik keputusan Megawati menunjuk Ahok-Djarot tersimpan strategi yang dimakan mentah oleh SBY dan Prabowo.
Permainan waktu penunjukan Ahok-Djarot telah menghancurkan persiapan para partai. Wacana demi wacana yang dibangun hanya menghasilkan pepesan kosong. Strategi PDIP mengulur waktu dimungkinkan karena strategi the Operators jelas dan terukur: mengatur dukungan internal dan memengaruhi partai lain agar gamang dan galau. Hasilnya para partai kebingungan menentukan calon.
Sejak awal wacana Yusril, Risma, Sandiaga, sampai Saefullah dan bahkan Lulung dan Rizal Ramli telah membuat publik dan bahkan politikus kena kibul strategi politik. Bangunan wacana penolakan Ahok sebagai cagub dibangun sebagai alat untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan Ahok. Ternyata Ahok tetap memlliki kekuatan nyata di dalam masyarakat DKI Jakarta: elektabilitas dan popularitas Ahok tetap tak tergoyahkan.
Ketika akhirnya Presiden ke-5 Megawati menunjuk Ahok-Djarot, seketika terkesiap baik internal maupun eksternal PDIP. Boy Sadikin pun terperangah dan kecewa karena tidak diusung dua kali. Pada 2014 lalu Boy Sadikin berharap menjadi wagub DKI menggantikan Ahok yang naik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ternyata Djarot naik. Pada pencalonan kali ini, Boy Sadikin berharap dirinya naik sebagai cawagub dengan Djarot sebagai cagub, namun senyatanya popularitas Ahok-Djarot tak tertandingi dalam simulasi internal PDIP. Boy pun tersingkir dan kini menyingkirkan diri.
Di kalangan eksternal PDIP, SBY dan Prabowo marah besar. Tersinggung dan kecewa secara politik. SBY dan Prabowo bukan hanya kecewa secara politik namun secara pribadi pula. Mega dan SBY adalah kayu kering dan minyak yang gampang disulut dan terbakar. Akibat luka politik “pengkhianatan politik” 2004 ketika SBY seolah didzolimi oleh Mega. Sejak itu permusuhan politik tak pernah berakhir sampai kiamat kelak.
Prabowo dan Mega bagai minyak dan air yang tak bakalan bersatu. Pencalonan Jokowi dengan dukungan PDIP alias Presiden ke-5 Megawati dan akhirnya Jokowi mengalahkan Prabowo menjadi peristiwa politik yang menyesakkan dada, hati dan jiwa dengan luka terdalam yang tak pernah terbayangkan oleh politikus. “Pengkhianatan politik” perjanjian Batutulis Bogor tentang Mega mendukung Prabowo menjadi luka menganga tak pernah tersembuhkan sampai baik Prabowo maupun Mega menutup mata masuk ke alam kubur.
Nah, selain itu perseteruan pribadi Prabowo dan SBY sejak di Akmil – yang ketika itu SBY pernah digebukin babak belur oleh Prabowo sebagaimana disebutkan oleh Hermawan Sulistyo silakan Googling sendiri ya – tak akan pernah menyatukan Prabowo dan SBY. Untuk itu dalam perhitungan politik Megawati, dengan mencalonkan Ahok-Djarot, kekuatan Koalisi Kekeluargaan akan terpecah dua. Dan, benar. Muncul Koalisi Cikeas dan Koalisi Kertanegara.
Si culun politik Agus Yudhoyono dikerek ayahnya yang sebagai rezim gagal total 10 tahun tak bermakna dipasangkan dengan guru pemberontak Sylviana Murni. Munculnya Agus adalah akhir peran Agus sebagai prajurit brilian di bawah bapaknya.