Jlep. Jlep. Menyesakkan dada. Guru di Makassar dihajar sampai belur. Maka ingatanku pergi ke Bung Karno dan Tan Malaka. Mereka sadar bahwa tanpa guru mereka tak akan menjadi pendiri Indonesia. Selain ke mereka, maka ingatanku melayang ke 27 tahun lalu. Aku di depan kelas menangis. Cengeng. Aku ikut menyanyikan lagu Hymne Guru pada perpisahan SD.
Maka aku tetap ingat para guru dan kepala sekolah Ibu Murniati, Kepala Sekolah Bapak Soemardjo dan semua guru lainnya. Kenapa? Aku menyanyikan dengan tetesan air mata. Kenapa menangis. Aku merasa dicintai oleh mereka. Dididik oleh mereka. Bung Karno dan Tan Malaka pun pasti akan menangis jika mereka masih hidup mendengar penganiayaan guru dan hancurnya pendidikan di Indonesia. Maka Hymne Guru menjadi lagu yang aku kenang sepanjang masa.
Terpujilah wahai Engkau Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir, didalam hatiku
S'bagai prasasti terimakasihku 'ntuk pengabdianmu
Terpujilah wahai Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku
S'bagai prasasti terimakasihku 'ntuk pengabdianmu
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa
Guru SMKN 2 Makassar itu belur dihajar oleh orang tua. Darah mengucur di wajah guru. Dipotret dan diberitakan media sosial. Publik terkejut. Media sosial gempita. Ada apa? Gambaran kekerasan terhadap guru memang menyedihkan. Kekerasan terhadap guru tak dapat ditolerir, namun persoalan kekerasan itu jelas menandakan ada yang tidak beres dalam hubungan guru, murid, institusi pendidikan, dan orang tua – bahkan kepala daerah.
Mari kita telaah kasus penganiayaan Makassar dengan jernih sambil mencari titik masalah dunia pendidikan dan guru dengan hati jauh dari gembira ria riang sentosa bahagia sambil menari menyanyi berdansa salto jungkir balik selamanya senantiasa.
Orang tua kita memberikan penghormatan tinggi kepada para guru. Profesi guru adalah kehormatan. Para guru adalah sosok panutan yang terpandang di dalam masyarakat Indonesia sejak zaman Belanda sampai pada tahun 1980-an. Pasca 1980-an, profesi guru lambat tapi pasti berubah sejalan dengan materialisme yang melanda kehidupan bangsa Indonesia. Lagu berjudul Hymne Guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa pun diubah syairnya menjadi lebih materialistis.
Hikayat tentang amal dan perbuatan baik melalui transfer dan berbagi ilmu yang disebut salah satu amal jariyah hilang ditelan bumi. Para guru kehilangan darah semangat mengajar. Guru tidak lagi mengharapkan niatan baik mengajar, namun niat mencari uang. Hilang sudah harapan mendapatkan pahala seperti para guruku Ibu Murniati dan Kepala Sekolah Bapak Soemardjo.
Sejak profesi guru (khusus di sekolah negeri) berubah dari pahlawan tanpa tanda jasa dan menjadi hanya pekerjaan biasa, dunia pendidikan di Indonesia terguncang. Bukan hanya tingkat dasar dan menengah, tingkat perguruan tinggi pun mengalami goncangan. Uang menjadi titik penentu keberadaan siswa, guru dan institusi pendidikan. Maka profesi guru pun tak ubahnya seperti profesi dokter, pengacara, sopir taksi, buruh pabrik yang tujuannya adalah uang dan uang.
Profesi guru yang seharusnya memiliki 4 syarat kompetensi yakni (1) personal, (2) profesional, (3) paedagogik, (4) sosial, kini tinggal kenangan. Akibatnya, potret pendidikan tinggi Indonesia merosot tajam kalah dengan negara seuplik-licik Singapura, Malaysia dan bahkan negara porak-poranda seperti Filipina. Tak ada universitas di Indonesia yang bisa menembus persaingan bahkan 100 top dunia.
Kisah pendidikan tinggi yang menghasilkan manusia super seperti Tan Malaka, Bung Karno, Hatta, M. Yamin yang berpendidikan Barat tidak menjadikan Indonesia berpikir tentang perlunya pendidikan dari dasar sampai tingkat teratas.
Buyarnya fokus mendidik anak bangsa di tingkat dasar dan menengah berimbas pada tingkat tinggi. Murid dan guru serta institusi pendidikan hanyalah sebuah etalase interaksi kering pembuang waktu anak bangsa. Para murid dijejali mengerjakan LKS. Murid disebut peserta didik namun para guru sebagian besar tidak memiliki kemampuan untuk mendidik – bahkan fungsi mendidik hilang.