Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Pancasila dan Bung Karno, 7 Pondasi Sejarah Indonesia, dan Ideologi Terbuka

Diperbarui: 1 Juni 2019   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Karno dan Che Guevara dalam pergaulan internasional I Sumber www.kabarindiependen.com

Pancasila secara resmi dinyatakan lahir 1 Juni 1945. Pun Presiden Jokowi menetapkan Hari Lahir Pancasila sebagai hari libur nasional. Pancasila memang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Karena Pancasila itulah Indonesia sampai detik ini masih berdiri. Bung Karno, dengan Pancasila yang digali dari nilai-nilai bangsa Indonesia, berhasil melahirkan ideologi luar biasa yang tak lekang dari zaman – abadi. Bung Karno memiliki visi yang tak terbantahkan dari pengalaman berproses dalam diri Bung Karno.

Pancasila. Satu, ke-Tuhan-an yang maha esa. Dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, persatuan Indonesia. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lima, keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Mari kita telaah 7 pondasi alasan Bung Karno menciptakan Pancasila dan kehebatan Pancasila yang digali oleh Bung Karno dengan dengan hati gembira ria riang senang bahagia sambil merayakan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan bersuka-suka jingkrak-jingkrak koprol menari menyanyi pesta-pora suka-cita dansa karaoke guling-guling menikmati tambahan hari libur selamanya senantiasa.

Pertama, Bung Karno menyatukan seluruh potensi bangsa-bangsa di Hindia Belanda – dengan menjadi Indonesia – dengan melakukan down-graded, penurunan status bangsa (nation) seperti bangsa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Banjar, Moi, Ayamaru, Aceh, Bengkulu, Lampung, Ambon, Rote, Bali, Osing, Palembang, Melayu, Manado, Dayak, Sasak, dan ratusan nation lainnya hanya menjadi suku-bangsa alias sub etnik bangsa (baru) yang diciptakan oleh Bung Karno: bangsa besar Indonesia.

Dengan cara menghapus dan menurunkan nation Jawa, Ambon, maka potensi pecah-belah sebagai a new-born nation Indonesia menjadi lebih kecil – itulah penumpasan pemberontakan di Indonesia seperti Permesta dan DI TII dengan mudah dapat dipatahkan karena rasa nasionalisme baru sebagai bangsa (nation) baru Indonesia lahir.

Kedua, Bung Karno mengakomodasi seluruh isme, ideologi, agama, kepercayaan – dengan menyampingkan konflik eksistensi tuhan dalam polemik atheisme dan theism karena sesungguhnya atheism dan theism adalah hanya sekedar isme yang paradoksikal dan tak perlu diperdebatkan – yang diyakini oleh bangsa-bangsa (atau suku-suku bangsa) yang terdiri dari ratusan keyakinan dan kepercayaan baik dalam bentuk agama maupun kepercayaan tradisional.

Oleh sebab itu, maka kepercayaan tradisonal yang menjadi peletak dasar penganutan agama-agama impor seperti Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Kristen, Katholik, tetap hidup seperti kepercayaan bangsa Sunda asli di Badui.

Dengan kecerdasan historis dan spiritual, Bung Karno memilih kata absurd akomodatif yang sejuk: ke-Tuhan-an yang maha esa, yang diterjemahkan sebagai suatu keyakinan terhadap eksistensi tuhan yang satu – semua manusia secara alamiah meyakini tuhan tidak banyak: satu, yakni satu tuhan, bukan meyakini tuhan ini tuhan itu. Believe in (One) God. Ketuhanan yang maha esa.

Ketiga, dari ratusan nations (bangsa-bangsa) yang telah di-down-graded oleh Bung Karno menjadi suku-suku bangsa itu, tentu kelanjutannya adalah menyatukan dengan satu kalimat ajaib: Persatuan Indonesia. Bung Karno selalu menyebut sejarah dan nasib dijajah Belanda selama 350 tahun sebagai sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ada nasib bersama, we are in the same boat, sehingga bangsa-bangsa Indonesia merasa sebagai satu kesatuan. Beruntung Sumpah Pemuda 1928 meletakkan dasar bangsa, bahasa, dan tanah air Indonesia.

Keempat, di mata Bung Karno penyatuan bangsa-bangsa tersebut hanya akan mungkin dilakukan jika dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, spiritual, kesejarahan, dan politik yang manusiawi yakni semua bangsa-bangsa anggota bangsa besar Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama, setara dan sederajat dalam peradaban yang maju dan berkembang. Dan, itu hanya ada dalam kemanusiaan – humanity.Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kelima, Bung Karno memandang bangsa dan negara besar Indonesia yang berakar pada demokrasi gotong-royong sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur tradisional dan akulturasi kepercayaan dan agama-agama impor (asal luar Indonesia). Potret kehidupan sejarah harmoni dalam bentuk gotong-royong dalam memecahkan masalah di desa-desa adat dengan kearifan dan kebajikan (hikmah) menjadi gambaran besar nilai luhur musyawarah dalam perwakilan. Bung Karno mengambilnya dan menjadikannya nilai demokrasi khas Indonesia yakni: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline