[caption caption="R.A. Kartini I Sumber Sidomi.com"][/caption]Raden Ajeng Kartini adalah bangsawan Jawa yang menjadi simbol dan wujud perlawanan atas feodalisme Jawa. Pelopor sekaligus korban. R.A. Kartini adalah bentuk perlawanan atas pemujaan feodalisme Jawa di mata penguasa kolonial Belanda. Sejarah tentang Kartini adalah sejarah tentang penentangan pemanfaatan feodalisme Jawa yang dilanggengkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejarah perlawanan R.A. Kartini adalah perlawanan atas hegemoni dan perselingkuhan antara kalangan priyayi feodal yang menjadi antek pemerintah Hindia Belanda di Rembang dan hampir seluruh Jawa kecuali Kerajaan Mataram Islam Jogyakarta.
R.A. Kartini yang memahami humanisme karena bersentuhan dengan tiga budaya sekaligus: Jawa, Barat (Belanda), dan Islam, memandang feodalisme berlawanan dengan humanisme dan kemanusiaan. Terlebih lagi sebagai perempuan Jawa, pada masa feodal itu, para perempuan pribumi yang bukan keturunan priyayi tak memiliki hak belajar secukupnya.
R.A. Kartini sempat mengenyam pendidikan Belanda dengan bersekolah di Europe Lagere School sekolah khusus Eropa karena R.A. Kartini adalah anggota bangsawan Jawa. Persentuhan pendidikan Belanda ini membangun kesadaran Kartini akan emansipasi yang dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakadaan kesempatan bagi kalangan pribumi kebanyakan untuk berkembang dan belajar.
R.A. Kartini melihat perselingkuhan kolonialisme dan feodalisme Jawa saat itu membekap bukan hanya menciptakan berbagai golongan, juga merusak tatanan keberadaban Islam, Jawa dan bahkan Barat. Maka berbagai kegelisahan itu dituangkan dalam surat-surat ke Nyonya Abendanon. Di samping itu R.A. Kartini muda belia di waktu pendeknya dalam kehidupan secara sembunyi-sembunyi sebagai bangsawan pemberontak, memberikan ketrampilan dan pengajaran kepada kalangan perempuan di Rembang.
Padahal saat itu sangat dilarang dan hampir tidak mungkin pengajaran diberikan oleh para bangsawan antek Belanda kepada warga pribumi – apalagi kalangan perempuan. Kekuasan feodal dan kolonial di Jawa sangat diketahui dan menjadi keprihatinan Kartini. Bahwa para penguasa lokal seperti bupati menjadi antek Pemerintah Hindia Belanda dan VOC menjadikan keprihatinan yang mendalam bagi Kartini. Kartini mencatat semua bupati dan residen di Jawa dijabat oleh dan atas penunjukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atau bahkan VOC.
Sejarah Amangkurat yang menjadi antek Belanda sangat dikenal oleh Kartini. Bahkan ungkapan Jawa pada masa Kartini seperti ‘Ojo golek bondho koyo Amangkurat tego ngedhol negoro’ terngiang bahkan sampai sekarang. Realita suasana batin tekanan kebudayaan pada masa itu menyadarkan Kartini untuk meneriakkan perjuangan melawan feodalisme yang dibangun oleh pengkhianat yakni kalangan bangasawan Jawa dan penguasa kolonial baik VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda dalam sejarahnya memanfaatkan kalangan penguasa feodal lokal yang disebut priyayi sebagai antek kekuasaan kolonial. Para priyayi yang di berbagai daerah telah kehilangan kekuasaan di bawah kerajaan-kerajaan yang sudah kehilangan kekuasaan, oleh pemerintah Hindia Belanda dimanfaatkan sebagai pejabat. Para bekas keluarga kerajaan di Jawa dan di luar Jawa dimanfaatkan untuk menjadi bupati dan residen.
Oleh karena itu, maka para pejabat seperti di Kabupaten Bandung, sejak Tumenggung Ardikusumah sebagai Bupati Bandung pertama masa kolonial Belanda sampai pada masa akhir Hindia Belanda semua bupati Bandung bergelar raden atau tumenggung. Hal ini bisa dimengerti karena terbentuknya Kabupaten Bandung berdasarkan Piagam Sultan Agung Hanyokromkusumo dari Kerajaan Mataram pada 20 April 1641.
Hal yang sama yakni pengangkatan Bupati terjadi di hampir semua kabupaten dan residen di Jawa. Bupati Jepara pertama bergelar K.R.M.A.A. Sosoningrat berkuasa sejak 1881-1905. Setelah itu sampai pada masa kemerdekaan Bupati Jepara terakhir bernama R.A.A. Soekahar. Bahkan dekade awal pun para penguasa lokal feodal menjadi bupati di Jepara.
Di lain tempat Demak selama beberapa ratus tahun dalam kekuasaan Pangeran Jimbun alias Raden Patah – sekaligus penguasa Kesultanan Demak – sejak tahun 1478 sampai tahun 1518. Kekuasan atas Kota Demak mengikuti penguasa atau sultan. Pada masa kolonial, pada 1801-1845 berkuasalah Bupati Pangeran Cokronegoro.
Bupati Kudus pertama pun kalangan feodal: K.R.A.A. Padmonegoro, yakni menantu Sunan Pakubuwono III, seterusnya sampai masa kemerdekaan para bupati bergelar Raden dan Tumenggung seperti K.R.T. Cokrohadinegoro, lalu K.K.A.A. Condronegoro III sampai pun tahun 1943-1945 dengan K.R.T. Soebianto.