Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Peta Politik Kekinian: 5 Arah Politik Presiden Jokowi, Dukungan Rakyat, Waspadai Kasus Dilma Rousseff

Diperbarui: 18 Maret 2016   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mafia Migas dan Petral Muhammad Riza Chalid I Sumber Tribunnews.com"][/caption]

Peta politik kekinian tak banyak dipahami publik. Persaingan politik dan konsolidasi politik sebagian besar sesuai dengan keinginan the Operators dan Presiden Jokowi. PDIP dan Golkar yang terus bersaing di ring 1 Istana tak begitu banyak mendapatkan konsesi dari Presiden Jokowi. Taktik dan strategi Presiden Jokowi menggantung Golkar dan menjaga jarak dengan PDIP terbukti mampu meredam goyangan hingga melumpuhkan Golkar – meskipun menimbulkan riak di sana-sini. Lagi-lagi dukungan rakyat menguatkan Presiden Jokowi – meskipun Presiden Jokowi harus mewaspadai pelajaran dari kasus Dilma Roessef di Brazil.

Mari kita simak peta politik kekinian tentang posisi dan 5 arah politik Presiden Jokowi di tengah persaingan di Istana dan partai Golkar termasuk kasus Papa Minta Saham yang tampak memenjarakan Presiden Jokowi dan dampak lanjutan terkait sikap Presiden Jokowi dengan hati gembira ria riang girang suka-cita bahagia menari menyanyi tertawa terbahak menertawai jebakan Golkar terhadap Presiden Jokowi selamanya senantiasa.

Pertama, dukungan rakyat. Presiden Jokowi semestinya tidak menyia-nyiakan dukungan rakyat. Secara gamblang, naiknya Presiden Jokowi ke tampuk kekuasaan di Solo, Jakarta, dan Indonesia adalah karena dukungan rakyat. Partai hanyalah kendaraan politik. Karakter Presiden Jokowi mampu menarik partai dan rakyat: lobby tingkat tinggi dengan kepribadian santun namun tegas. Dukungan rakyat adalah roh dan kekuatan. Namun, opini publik terhadap baik dan buruk – yang selalu digambarkan akan membuatnya menjadi kebenaran

Kasus Dilma Roussef yang tengah menghadapi impeachment disebabkan oleh perselingkuhan politik-hukum antara Dilma dan bekas Presiden Lula yang diangkat menjadi Kepala Staf Pemerintahan – yang publik memahami sebagai upaya membuat kekebalan hukum terhadap Lula. Lula tengah menghadapi tuduhan korupsi justru ditolong oleg Rouseff. Rakyat dengan tegas menolak perselingkuhan politik dan menarik dukungan dan justru mendukung penjatuhan atas Dilma Rouseff – suatu keadaan yang tak terbayangkan tahun lalu – di tengah terpuruknya ekonomi Brazil akibat jatuhnya harga minyak dan pelemahan ekonomi Tiongkok.

Presiden Jokowi harus memahami dengan baik terkait dukungan rakyat dan persepsi publik terhadap tokoh tertentu. Berawal dari pemerintahan bersih, berteman dengan mafia dan koruptor jelas akan menghempaskan Presiden Jokowi.

Kedua, menggantung posisi Golkar di antara oposisi dan pendukung pemerintahan. Omongan plin-plan Ical alias Aburizal Bakrie terkait dukungan Golkar terhadap pemerintah hanya menunjukkan (1) betapa Presiden Jokowi hanya menggantung Golkar, karena (2) ketidaktegasan sikap Golkar sendiri yang plin-plan terutama Ical, (3) Presiden Jokowi sejatinya tidak memusingkan dukungan Golkar atau tidak karena porak-porandanya PPP dan keluarnya PAN, (4) telah membuat oposisi kehilangan ketajaman. Namun justru kondisi seperti ini menimbulkan ketidakpastian yang membuat Golkar galau.

Kini Golkar tengah melakukan maneuver dengan mengadu Setya Novanto sebagai posisi tawar kepada Presiden Jokowi. Sementara – jangankan Presiden Jokowi – rakyat yang paling bloon dan oon pun tidak menghendaki Ical yang miskin prestasi di Golkar. Presiden Jokowi menghendaki Ade Komaruddin sebagai Ketua Golkar dan merestui. Hal ini menimbulkan perlawanan sengit Ical dan Setya Novanto – bahkan Jusuf Kalla dan Agung Laksono pun berbalik mendukung Setya Novanto. Suatu strategi Presiden Jokowi yang brilian.

Ketiga, menggantung kasus Papa Minta Saham. Kasus Papa Minta Saham jelas membetot publik dan menekan Presiden Jokowi. Kasus yang melibatkan Setya Novanto dan mafia migas Muhammad Riza Chalid berpotensi menjadi batu sandungan berbahaya bagi kredibilitas Presiden Jokowi sendiri. Pernyataan Presidan Jokowi yang tidak mau menerima namanya disebut oleh Setya Novanto dan mafia migas Muhammad Riza Chalid justru menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi.

Bumerang pertama menghantam Presiden Jokowi adalah justru kasus Papa Minta Saham menjadi alat bagi Setya Novanto untuk adu tawar. Setya Novanto ingin membuktikan diri sebagai the mighty, unstoppable, and untouchable. Dengan dukungan kuat Golkar dan para kroninya termasuk Muhammad Riza Chalid – salah satu orang terkaya yang kekayaannya bersama kroninya mencapai ribuan triliun rupiah yang dikumpulkan dari 10 tahun paling mencolok lewat Petral plus 25 tahun perampokan kekayaan migas.

Kekuatan Setya Novanto ini tengah dijadikan belitan hukum yang menghantui Setya Novanto. Dalam hal ini posisi Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham dalam pandangan Presiden Jokowi telah dimenangkan. Stigma kasus hukum dengan kaburnya Riza Chalid memiliki makna (1) mafia kabur dan kehilangan kekuatan, (2) Setya Novanto mendapatkan opini publik sebagai orang yang terlibat dalam kasus Papa Minta Saham.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline