Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Ahok dan Deparpolisasi, Rahasia Politikus dari Zaman Kuno, Teokrasi, dan Modern

Diperbarui: 14 Maret 2016   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ahok I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]Deparpolisasi. Wah. Istilah baru kegeraman PDIP. Ahok melakukan langkah politik berani dan nekad: mencalonkan diri lewat lajur independen. Jelas tindakan Ahok memarahkan kalangan partai politik yang dekat dengan Ahok yakni PDIP. Bukan Ibu Megawati yang mencak-mencak, namun jelas kalangan di lingkaran Ibu Megawati, yang kepentingannya terganggu. Politik adalah alat kekuasaan. Maka ketika kepentingan diri dan kelompok golongan para anggota partai terusik, serangan bertubi dilakukan oleh parpol. Mari kita telaah gebrakan Ahok dan hakikat partai politik dalam rangka kekuasaan dan alat mencapai kekayaan bagi diri dan golongan dengan hati gembira ria riang girang senang bahagia suka-cita pesta-pora menertawai kemarahan partai atas deparpolisasi oleh Ahok dengan senang sentosa selamanya senantiasa.

Sejak awal Ahok tahu parpol adalah alat kekuasaan. Maka Ahok selalu keluar masuk parpol untuk meraih kekuasaan. Tujuan politik Ahok berbeda dengan para politikus: untuk kepentingan diri dan golongan. Namun Ahok pun menyadari hanya akan menggunakan parpol jika parpol tak berniat memanfaatan dirinya. Ahok justru selalu menggunakan parpol hanya sebagai kendaraan politik, dengan meninggalkan partai tanpa keuntungan sama sekali.

Sejatinya, parpol adalah kepanjangan tangan kekuasaan dan penguasa yakni pemilik partai. Maka manusia semacam SBY, Yusril, dan Amien Rais menyadari partai sebagai alat kekuasaan dan berkuasa, maka mereka menggenggam partai sebagai dedengkot alat tawar kekuasaan. Kekuasaan politik digunakan oleh para politikus untuk memenuhi hasrat berkuasa dan motif ekonomi. Politikus berbicara atas nama rakyat yang sesungguhnya atas nama kepentingan diri sendiri.

Sangat sedikit politikus yang memang berjuang untuk rakyat. Untuk Indonesia Bung Karno adalah contoh politikus yang mencintai rakyatnya. Bung Hatta demkian pula. Tan Malaka, Sjahrir sedikit politikus yang berjiwa pemimpin. Ketika politikus memerhatikan dan membela kepetingan rakyat, maka saat itu berubah menjadi pemimpin. Dan di Indonesia kita hanya mengenal sedikit pemimpin: Bung Karno salah satunya. Yang lainnya tentu eyang saya Presiden Soeharto. Yang lainnya belum masuk ke dalam kelompok pemimpin. Ahok sebagai politikus sedikit berubah menjadi calon pemimpin.

Makna dan hakikat politik hanyalah cara, upaya dan taktik sistematis untuk berkuasa yang sudah ada sejak zaman munculnya peradaban manusia. Ketika kisah Adam dan Hawa yang berhadapan dengan malaikat, setan dan ajaran Tuhan di surga pun politik sudah dipraktikkan saat itu. Intrik politik antara setan dan Adam dengan mengatasnamakan Tuhan adalah wujud praktik politik pertama kali yang tercatat dalam kisah manusia dan setan.

Yang paling awal, politik dengan konsep teokrasi adalah sejarah nyata representasi pas antara manusia, Tuhan, dan setan adalah gambaran politik dasar sejak zaman peradaban manusia dimulai. Praktik para penguasa sejak zaman Mesir Kuno, Romawi, Yunani, Persia, India, Maya, Inca, Tiongkok bahkan dalam peradaban suku-suku bangsa terasing di Afrika, Amerika serta Aborogin – termasuk suku Papua – memanfaatkan dan memraktikkan politik untuk berkuasa.

Sejarah politik berawal dari mitos tentang kekuasaan yang dihubungkan dengan keberadaan Tuhan atau dewa. Peradaban mula-mula di Mesopotamia adalah bukti awal adanya praktik politik dengan adanya hukum pertama yang tertulis yakni Kode Hammurabi yang tercatat pada tahun 1754 SM – sekitar 3,750 tahun lalu. Inilah indikasi kekuasaan politik paling kuno yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Kode Hammurabi memuat 282 aturan kehidupan berdasarkan keputusan dan peraturan penguasa politik yakni Hammurabi.

Dengan adanya undang-undang yang dibentuk oleh penguasa, dengan batasan rakyat di suatu tempat – yakni wilayah Mesopotamia dan Babilonia- maka terbentuklah entitas politik yang disebut pemerintahan yang pada akhirnya membentuk suatu negara atau kerajaan. Bentuk-bentuk negara dalam perkembangannya nanti mengikuti pola kekuasaan politik.

Di bawah kekuasan raja, maka entitas negara itu disebut kerajaan. Pola kekuasaan politik dengan kekuasaan demokratis biasanya disebut pemerintahan republik. Dalam perkembangan selanjutnya bentuk pemerintahan demokrasi – modern dan Islam juga – mengenal demokrasi parlementer. Juga ada kekuasaan yang disebut demokrasi presidensial dengan pusat kekuasaan di lembaga kepresidenan.

Dalam hal ini, Hammurabi, dalam sumpah pernyataannya menyampaikan secara jelas menghubungkan dirinya dengan Marduk, Tuhan tertinggi dari bangsa Babilonia. Tujuan menghubungkan dirinya dengan dewa atau Tuhan adalah praktik politik yang mengikuti naluri keturunan sejarah Adam-Hawa dengan kasus setan di surga.

Dalam perkembangan selanjutnya, raja, kaisar – sebagai representasi pelaku dan penguasa yang memanfaatkan politik untuk kekuasaan – selalu mengidentifikasi diri dengan Tuhan. Raja-raja Mesir Kuno semuanya mengidentifikasi diri sebagai raja-dewa alias Raja sekaligus Dewa. Penyembahan terhadap Dewa tertinggi selalu merepresentasikan dan direpresentasikan kepada penyembahan terhadap wakil dewa di Bumi yakni raja Mesir yang bergelar firaun –alias pharaoh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline