[caption caption="Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]Revisi UU KPK alias Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada intinya menyangkut 4 hal pokok. Namun keempat hal pokok itu sejatinya menjadi perdebatan karena kepentingan. Presiden Jokowi memiliki kepentingan dengan DPR. DPR memiliki kepentingan dengan keberadaan KPK. Rakyat memiliki kepentingan tentang keberadaan KPK dan harapan kepada Presiden Jokowi yang keduanya ditusuk oleh trisula berdarah-darah. Mari kita telaah tentang revisi UU KPK yang bisa menusuk Presiden Jokowi dan rakyat serta membuat DPR dan para koruptor bersorak dengan hati jauh dari riang gembira senang sentosa bahagia girang menari menyanyi jungkir balik menertawakan perang kepentingan yang tak pantas dipertontonkan karena membela kemungkaran bernegara selamanya senantiasa.
Presiden Jokowi, DPR serta KPK harus tahu dan paham bahwa publik telah membaca bahwa revisi UU KPK adalah upaya melemahkan KPK – yang sudah lemah karena personilnya lemah. Target utama dan pertama revisi UU KPK yakni (1) mengatur penyadapan dengan seizin Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih oleh DPR, (2) menetapkan nilai korupsi di atas Rp 50 miliar, (3) jangka waktu korupsi yang boleh disidik dan ditindak tak lebih dari 2 tahun sejak terjadinya korupsi, (4) KPK diberi kewenangan untuk menerbitkan SP 3.
Sesunguhnya revisi UU KPK tidak mendesak. Presiden Jokowi harus mendengarkan rakyat dan Gerindra yang menjadi satu-satunya partai yang menentang revisi UU KPK. Presiden Jokowi harus peka bahwa revisi UU KPK adalah upaya DPR untuk menusuk Presiden Jokowi. Jika Presiden Jokowi gagal memahami revisi dan terjadinya revisi melemahkan KPK untuk empat poin di atas, maka Presiden Jokowi akan ditinggalkan oleh rakyat: itu tujuan para mafia dan koruptor.
Presiden Jokowi harus memerhatikan poin-poin perubahan yang diinginkan oleh DPR dengan seksama agar tidak terkecoh baik oleh informasi kalangan Istana maupun unsur DPR. Sikap diam kalangan Istana bekas anggota DPR seperti Pramono Anung dan Tjahjo Kumolo harus dilihat oleh Presiden Jokowi bahwa mereka adalah bekas politikus Senayan. Presiden Jokowi harus melihat orang seperti Teten Masduki dan Johan Budi dalam hal revisi UU KPK – bukan yang lain.
Untuk itu Presiden Jokowi harus secara cermat memerhatikan empat poin di bawah ini sebagai pertimbangan mengambil sikap terkait UU KPK. Kenapa? Revisi UU KPK ini sebenarnya adalah alat DPR untuk melemahkan dukungan rakyat terhadap Presiden Jokowi. Kenapa? Karena isu KPK adalah isu kunci yang sangat strategis. Isu KPK dan korupsi terbukti menjatuhkan pamor Demokrat menjadi partai tak laku. Pun isu korupsi oleh pentolan partai agama PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, telah menghancurkan partai agama PKS itu.
Poin (1) DPR merasa ketakutan karena penyadapan adalah senjata KPK untuk menangkap koruptor. Fakta bahwa 95% pengungkapan korupsi melalui penyadapan. Karena penyadapan sebagai senjata utama OTT (operasi tangkap tangan), maka DPR menginginkan untuk membatasi waktu yakni 3 bulan sejak diberikan izin plus harus ada bukti permulaan jika KPK akan menyadap.
Tanpa kewenangan bebas menyadap, bukan hanya gagal menangkap koruptor, bahkan yang sudah disidik, koruptor keburu menghilangkan barang bukti dan diam karena adanya peringatan dari pengawas yang bocor. KPK keok. Pun DPR ketakutan disadap. Kenapa harus takut kalau tidak bersalah dan tidak korupsi?
(Presiden Jokowi jangan mau diberi janji bahwa badan-badan intelejen lain bisa dan masih boleh menyadap. Namun faktanya mereka bukan badan anti rasuah. Yang benar tetap memberi kewenangan kepada KPK bebas menyadap siapapun dan kapanpun tanpa harus minta izin Dewan Pengawas KPK.)
Poin (2) nilai korupsi di atas Rp 50 miliar artinya? Korupsi di bawah Rp 50 miliar diurus oleh Polri dan Kejaksaan Agung. Artinya? Fakta bahwa selama ini kasus korupsi yang diendus oleh KPK berkisar dari Rp 1 miliar (kasus Damayanti Wisnu Putranti, Andriyanto) sampai triliunan rupiah (M. Nazaruddin, Hadi Poernomo).
Jelas pembatasan ini bertujuan untuk melarikan diri para anggota DPR dari kemungkinan dicokok oleh KPK. Semakin tinggi korupsi akan semakin sulit ditangkap. Pembatasan ini memungkinkan para koruptor di bawah Rp 50 miliar kompromi dengan penegak hukum di luar KPK yang dianggap bisa diajak kompromi.
(Presiden Jokowi jangan mau mendengarkan bahwa KPK adalah lembaga Adhoc. Pembisik yang menyatakan bahwa selain KPK Polri dan Kejaksaan berwenang mengusut dan menguatkan kedua lembaga untuk menelisik korupsi. Presiden Jokowi harus sadar justru karena kedua lembaga itu dianggap lemah dalam pemberantasan korupsi, maka KPK masih dibutuhkan. Itu cara berpikir yang benar tidak keblinger.