[caption caption="Serangan ISIS di Thamrin I Sumber Kompas.com"][/caption]Banyak pihak merasa geram dengan upaya Indonesia yang membiarkan anarkisme dan ormas radikal. Ormas dengan wajah ekstra semacam FPI pun dibiarkan, ormas HTI yang jelas memerjuangkan Khilafah pun dibiarkan beredar di pasaran. Kenapa? Mari kita tengok strategi menepuk pundak musuh, lalu menusuk pinggang dengan pedang tembus sampai jantung dalam memerangi teroris termasuk ISIS yang dilakukan Indonesia sejak zaman rezim eyang saya Presiden Soeharto melakukan pendekatan khusus yang brilian terhadap kelompok radikal kanan, gerakan Islam radikal, dan bahkan terorisme dan separatisme di Aceh, Papua, sampai Gafatar pasca serangan teroris di Thamrin Jakarta dengan hati gembira ria riang sentosa senang girang bahagia menari menyanyi menertawai kekalahan gerakan anti NKRI selamanya senantiasa.
Indonesia sejak merdeka – bahkan semenjak zaman pergerakan kemerdekaan - telah menerapkan strategi menepuk pundak musuh, lalu menusuk pinggang musuh dengan pedang sampai tembus ke jantung. Pengalaman menghadapi pemerintah kolonial Belanda yang terkenal licik dan cerdik selama ratusan tahun, membuat bangsa Indonesia awas dan bertindak tepat dalam menghadapi musuh-musuh politik dan negara.
Pada zaman pergerakan muncul SDI (Syarikat Dagang Islam) yang kemudian menjadi Syarikat Islam (SI). Muncul pula gerakan dengan berbagai aliran baik komunis, sosialis, Islam dan nasionalisme kebangsaan berdasarkan kemanusiaan. Hasil dari cita-cita pergerakan berbagai paham dan ideologi itu diwujudkan kelak dalam Pancasila oleh Bung Karno: suatu prestasi pemikiran demokratis luar biasa.
Pada masa revolusi, Indonesia mengamalkan demokrasi multi-partai yang sangat sukses. Semua parta dengan ideologi hidup dari kini sampai kanan, dari sosialisme, komunisme (PKI) nasionalisme (PNI), dan agama (NU, Masyumi, Parkindo) dsb. Kelak Bung Karno terinspirasi dengan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sebagai upaya merangkul anak bangsa.
Bung Karno pun membungkam PRRI/Permesta dan DI/TII dengan pendekatan strategi menepuk pundak musuh, lalu menusuk pinggang dengan pedang tembus sampai jantung.
Kekuatan yang dibangun oleh Bung Karno menyebabkan Barat (Amerika dan Inggris) ketakutan dan menyokong penyingkiran Bung Karno dengan berbagai telikungan eyang saya Letjen Soeharto (yang kelak) menjadi Presiden RI yang cerdas dan cermat dengan penunggangan keblingeran Partai Komunis Indonesia. Termasuk manipulasi Supersemar sebagai alat menjungkalkan Presiden Bung Karno.
Semenjak Bung Karno jatuh, eyang saya Presiden Soeharto bersifat adil dalam melawan radikalisasi ideologi kiri (komunis) dan ideologi kanan (Islam) berupa pelarangan dan pembatasan. Eyang saya Presiden Soeharto tidak pernah berbicara keras terkait PKI dan pemberontakan seperti separatism Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII), yang bahkan masih hidup sampai sekarang. Gerakan radikalisasi ideologi kepada mahasiswa di kampus dan juga pesantren dipantau dengan ketat.
Gerakan usroh, halaqah dan aneka pengajian kampus dilihat dengan dekat melalui organ intel kampus seperti resimen mahasiwa (Menwa) dan juga Babinsa – yang terdata sejak zaman kuliah siapa berpotensi menjadi radikal. Hal yang sama dilakukan terhadap pesantren seperti Ngruki asuhan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang menentang ideologi negara Pancasila. Tindakan subversi Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir menjadikan mereka dihukum 9 tahun dan kabur ke Malaysia.
Akar paham idelogi radikal berawal menentang Pancasila sejak di kampus dan pesantren ini yang menjadi bibit terorisme. Perang di Afghanistan melawan Uni Soviet dipelintir menjadi jihad melawan komunis oleh Amerika Serikat. Mirip dengan ISIS, Amerika Serikat berkampanye meminta pejuang di seluruh dunia. Para ‘mujahidin’ dari Arab Saudi, Indonesia, Pakistan, Mesir, Tunisia, Malaysia, Filipina, Thailand, Bangladesh, Yaman berperang melawan Uni Soviet. Usai perang 1990, para ‘mujahidin’ didikan Amerika Serikat dipimpin oleh Osama bin Laden melawan Amerika dan Barat dengan Al Qaeda-nya. Termasuk di Indonesia seperti Gufron, Imam Samudera, adalah termasuk 571 alumni Afghanistan – yang kelak sebagian menjadi akar teroris di Indonesia, yang kini bermetamorfose dari Al Qaeda, Jamaah Islamiyah, sampai ke ISIS belakangan. Akar dan orang-orangnya sama dengan jaringan dan sumbernya ya itu-itu saja: dengan berbagai upaya pengembangan.
Sejak zaman Gus Dur, Megawati sampai rezim SBY pola pendekatan sama. Pada masa Presiden Jokowi, melihat perkembangan terorisme dan radikalisme, penanganan terorisme dilakukan dengan pendekatan strategis: menepuk pundak musuh, lalu menusuk pinggang dengan pedang hingga menembus ke jantung. Dengan pola pendekatan ini, seperti yang dilakukan oleh Hindia-Belanda terhadap pergerakan di Indonesia, dibutuh kesabaran. Sama dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, organisasi garis keras pun dibiarkan seperti komunis dan SI.
Eyang saya Presiden Soeharto secara efektif dan represif membungkam pergerakan dan membatasi pergerakan terorisme sepenuhnya menggunakan strategi menepuk pundak musuh, lalu menusuk pinggang dengan pedang tembus sampai jantung.