[caption caption="Setya Novanto I Sumber rancah.com"][/caption]Benar. Setya Novanto berhasil menggalang opini dan membelokkan arah materi isi pembicaraan. Pun Sudirman Said, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Presiden Jokowi dihadapkan pada pertanyaan bahwa Presiden dan Wapres sudah mengetahui rekaman itu. Polemik kini diarahkan kepada komunikasi di kalangan Istana yang tidak utuh. Serangan itu kini saling memojokkan. Posisi Luhut Pandjaitan yang normatif pun dibawa antara sebagai penyejuk atau bahkan posisi lemah keterlibatan para orang yang disebut. Mari kita tengok akibat dan dampak dari pencatutan nama Presiden Jokowi, Jusuf Kalla, dan Luhut Pandjaitan dalam konteks politik dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan hati gembira menertawai terbahak bahagia suka-cita senang sentosa selamanya.
Perlawanan Setya Novanto kini didukung oleh Luhut Pandjaitan (Golkar) yang menyatakan tidak akan membawa masalah pencatutan nama ke ranah hukum. Akibat dari pernyataan ini adalah bahwa bagaimana pun, Luhut Pandjaitan adalah Golkar dan timbul pembelaan terhadap esprit de corps: sesama Golkar meskipun beda faksi.
Setya Novanto adalah Golkar. Luhut juga Golkar. Sementara Jusuf Kalla juga Golkar dan baru saja pengaruh kuat Jusuf Kalla, Mega dan Paloh dalam faksi Istana dihancurkan dengan masuknya Luhut Pandjaitan. Kalla praktis tersingkir dari perang bintang di istana. Untuk sementara dengan tersingkirnya faksi Kalla, penguatan Istana ditambah amunisi netral pro PDIP: Pramono Anung.
Kini rebutan pengaruh di Istana muncul lagi, kekuatan Luhut Pandjaitan (tidak membawa ke ranah hukum kasus pencatutan nama) dan perlawanan Jusuf Kalla (ngotot membawa ke ranah hukum). Kepentingan Golkar dalam benak Luhut, Jusuf Kalla mengemuka dan menjadi prioritas mereka. Maka sikap terhadap kasus pencatutan nama pun mengemuka. Publik dengan mudah menduga-duga dan berspekulasi yang justru membahayakan posisi Presiden Jokowi.
Pertanyaan pertama, kenapa Luhut Pandjaitan tidak marah dicatut sebanyak 16 kali dalam rekaman itu? Kenapa tidak mau menindaklanjuti? Sikap Luhut Pandjaitan ini menimbulkan pembenaran akan posisi Setya Novanto sebagai orang terkuat di Indonesia sebagai the unstoppable, mighty, and untouchable menjadi benar. Seorang Luhut Pandjaitan yang bagaikan singa kebenaran pun surut, mengeret, mengerut, tunduk, takluk, bersimpuh di hadapan kasus pencatutan nama oleh Setya Novanto. Setya Novanto semakin berkibar.
Pun dengan mencak-mencak Luhut Pandjaitan menyampaikan tak ada kaitan dengan perpanjangan kontrak Freeport. Sama dengan Luhut, terkait saham pun, menjadi polemik, bahkan Setya Novanto membawa-bawa bahwa di Amerika terdapat UU FCPA (foreign corruption practice act) yakni UU anti praktik korupsi luar negeri.
Perlu diketahui Amerika Serikat sangat rakus terhadap sumber daya alam. Kasus penandatanganan PT Freeport Sulphur dengan penjabat presiden Jenderal Soeharto pada 7 April 1967. Penandatanganan Freeport adalah penyerahan sumber daya alam dalam UU PMA yang telah disiapkan sebelumnya. Empat bulan sebelum penandatanganan, untuk memuluskan rencana, Amerika memersiapkan UU PMA dengan memeriksa detil-detil butir-butir UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Lewat konsultan dari Denver, AS, Van Sickle Associates, draft UU PMA disiapkan untuk memuluskan aksi menguasai ladang emas di Gunung Emas Grasberg Irian barat.
Omongan Setya Novanto bahwa perusahaan Amerika taat dan tunduk pada FCPA adalah omong kosong belaka. Bahkan berbagai kontrak minyak di berbagai belahan dunia dilakukan dengan kokangan senjata. Minyak di Arab Saudi, Kuwait, Libya, Bahrain, Iraq dikuasai oleh Amerika Serikat dengan konsesi perlindungan keamanan dan senjata. Itu alibi dan upaya Setya Novanto berkelit.
Pertanyaan kedua, Jusuf Kalla berubah sikap yang tampak sehari setelah bertemu dengan Setya Novanto. Selepas bertemu dengan Setya Novanto, atas arahan Presiden Jokowi sebagaimana disebutkan oleh Pramono Anung, Presiden Jokowi secara tegas telah mengetahui isi rekaman dan memiliki banyak telinga dan mata. Bahkan tampak ada yang disembunyikan oleh Luhut Pandjaitan, Jusuf Kalla, dan diperlukan sikap untuk menerangkan kasus pencatutan ini menjadi terang-benderang.
Pertanyaan ketiga, Jusuf Kalla tampak berseberangan dengan Luhut Pandjaitan. Pernyataan Luhut Pandjaitan yang langsung menyebut kata ‘kami dan pemerintah’ tidak akan mengambil langkah hukum perlu diperhatikan. Luhut merasa mewakili Jokowi. Benarkah?
Jika dicermati, yang terjadi saat ini adalah persaingan antara Luhut dan JK di hadapan Presiden Jokowi. (Perubahan sikap Luhut Pandjaitan yang ngeper melawan Setya Novanto dan semangat Kalla ini menimbulkan pertanyaan bagi publik. Pun kini publik hanya menunggu sikap tegas Presiden Jokowi dalam melawan para pemburu rente dan mafia migas dan sumber daya alam.)