Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Jokowi-Ahok Larang Uber dan Go-Jek: Hancurkan Nafkah dan Taksi Konvensional

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gubernur Ahok dan Presiden Jokowi - melalui Menteri Perhubungan - harus melarang Uber dan Go-Jek beroperasi. Kedua produk transportasi darat itu merusak tatanan sistem transportasi dan perpajakan. Taksi yang didesain untuk menjadi kendaraan angkutan dengan (1) menciptakan lapangan kerja, (2) membayar pajak angkutan umum, dan (3) memiliki standard keamanan dan kenyamanan dan (4) tanggung-jawab jelas, akan digantikan oleh Uber dan Go-Jek. Mari kita lihat keburukan alias mudharat kehadiran taksi Uber dan Go-Jek dalam masyarakat yang merusak tatanan dengan hati gembira ria suka cita senang sentosa bahagia riang selama-lamanya senantiasa sekalian pesta pora suka-suka.

Kisah Uber yang dilarang di berbagai negara Eropa semakin panas. Di Paris, para sopir taksi di Prancis memrotes taksi Uber dan merusak 70 taksi di Nantes, Marseilles, dan Strasbourg. Bahkan sopir taksi di Prancis menjebak taksi Uber dengan berpura-pura menjadi penumpang dan mengarahkan Uber ke wilayah tertentu dan diserang oleh para sopir.

Berkaca pengalaman Prancis yang tanggal 1 Desember 2015 resmi melarang operasi taksi Uber, pihak Uber yang terkenal gigih merayu sopir dan pelanggan, mengajukan banding dan tetap beroperasi di tiga kota tersebut. Maka menjadi penting bahwa Indonesia harus jelas menolak kehadiran taksi Uber yang rentan terhadap tindakan kriminal selain kegagalan mereka membayar pajak.

Di Indonesia, kehadiran Uber yang merupakan taksi gelap, kini ditambah lagi dengan ojek bernama Go-jek. Uber yang tidak memiliki standard sarana legalitas hukum dan perpajakan sebagaimana taksi konvensional, maka Go-Jek semakin tak karuan.

Menteri perhububungan Go-jek dan sepeda motor tidak memenuhi syarat sebagai angkutan umum. Apalagi, sistem pemesanan Go-jek berbasis internet online tak menjamin sama sekali keamanan penumpang ojek. Go-jek berpotensi menimbulkan kerawanan sosial di masyarakat dan tidak meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

Jadi Uber dan Go-Jek tidak selayaknya diresmikan dan diberi izin untuk beroperasi secara resmi. Khusus kehadiran Uber, jelas mengancam keberadaan taksi konvensional dan merugikan negara dari sektor pajak kendaraan umum. Pun sopir taksi konvensional kan kehilangan kesempatan mengangkut penumpang dan sistem antrean di hotel, mal, pusat perbelanjaan, bandara, akan rusak dengan kehadiran Uber yang nyelonong tanpa harus antre.

Terkait Go-jek, Presiden Jokowi - melalui Menteri Perhubungan - dan Gubernur Ahok tidak perlu memformalkan dan meresmikan Go-jek menjadi angkutan umum resmi. Uber menjadi taksi konvensional. Sebelum kehadiran Uber menjadi resmi, maka sebaiknya jika mau menjadi taksi resmi Uber harus memiliki manajemen dengan perekrutan dan pelatihan driver yang benar seperti taksi konvensional. Jadi di Indonesia Uber diperlakukan sebagai taksi biasa dengan bonus ada aplikasi online terkait pemesanan.

Taksi Uber pun harus antre ketika mengambil penumpang jika di tempat umum seperti hotel, bandara, stasiun kereta api, terminal, rumah sakit, dll. Tentang Go-jek tak perlu diberi izin. Biarkan Go-jek, tetap gojek dan menjadi mainan sementara yang nantinya akan bubar sendiri.

Salam bahagia ala saya mengggunakan taksi konvensional. Tak perlu diuber-uber dan bisa selalu gojekan alias becanda.

Salam bahagia ala saya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline