Hari semakin dekat. Pekan depan diperkirakan Lulung akan bisa menjadi tersangka kasus USB, eh UPS. Masuknya Lulung menjadi salah satu dari beberapa anggota DPRD DKI tak mengejutkan. Melihat gaya bicara Lulung sebenarnya sudah nampak jelas kegalauannya. Lulung sebenarnya terjebak dalam permainan politik-hukum dan hukum-politik sendiri. Langkah Lulung menyerang Ahok adalah langkah konyol menyerang duluan sebelum diserang: lu jual gua beli. Mari kita telaah keterjebakan Lulung dalam permainan politik-hukum dan hukum-politik diri sendiri dengan perayaan dan pesta dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia riang suka cita selamanya senantiasa.
Kabareskrim Budi Waseso telah menyebut Lulung disebut terlibat oleh dua tersangka lainnya. Pernyataan ini sangat jelas menunjukkan Lulung menghitung hari untuk menjadi tersangka UPS. Keterlibatan Lulung ini nanti akan membuka banyak borok yang mengejutkan. Dari UPS sendiri DKI dirugikan sekitar Rp 50 M berupa duit semua.
Sementara itu Lulung menantang dengan berbagai pernyataannya. Sikap Lulung ini khas pembelaan seperti Anas Urbaningrum, Akil Mochtar. Andi Mallarangeng, bahkan besan SBY Aulia Pohan sampai Luthfi Hasan Ishaaq juga menyatakan tak terlibat. Namun, satu pernyataan Lulung menunjukkan kegamangan yakni: "Jika terlibat dibuktikan secara hukum jangan dikriminalisasi." Ini pernyataan yang hebat dan perlu menjadi tanda bahwa ada yang berlangsung tak wajar.
Sikap Lulung itu menjadi sangat normatif dan datar. Melihat karakter Lulung yang mirip Ahok, seharusnya Lulung bersikap keras dan tegas menyatakan tidak terlibat. Namun, Lulung gamang dalam memberikan pernyataan: jadi normatif sifatnya. Maka dapat dipastikan Lulung mendekati menjadi tersangka kasus UPS.
Pernyataan Budi Waseso pun bukan sembarangan pernyataan. Mengenai keterlibatan Abraham Samad pun dengan tegas Budi Waseso sampaikan, dan benar. Kini Budi Waseso menyebut Lulung terlibat disertai dengan barang bukti dokumen, catatan dari ruang kerja Lulung. Pernyataan Budi Waseso ini membungkam Lulung yang sudah tak berani bertaruh lagi soal ruko dan rumahnya.
Seperti dikutip dari Kompas.com Lulung pada (31/3/2015) menantang wartawan dengan pernyataannya: "Kalau gue bersalah, buru-buru deh gue ditahan. Kita fair aja. Rumah gue Rp 2 miliar. Ruko ada tiga, jadi Rp 6 miliar. Lu (wartawan) Rp 100 juta aja. Ayo, tanda tangan. Kalau gue terlibat, lu ambil dah taruhan gue. Gue berani jamin, gue enggak salah."
Indikasi keterlibatan Lulung pun semakin mendekat karena Muhammad Taufik pun diam seribu bahasa. Cep klekep tak bersuara. Yang menjadi pernyataan. Kenapa Lulung dan Muhammad Taufik melakukan seranngan terhadap Ahok dengan gempita dengan maksud menjungkalkan Ahok? Lalu kenapa sekarang Angket terhadap Ahok menjadi surut? Lalu kenapa HMP pun layu sebelum berkembang?
Jika dicermati sesungguhnya langkah Lulung dan Muhammad Taufik menunjukkan permainan politik konyol. Lulung menyerang Ahok. Serangan itu justru menembak diri sendiri. Sebenarnya kasus UPS tak akan muncul ke permukaan jika Lulung dan DPRD DKI tidak bertindak sembrono menyerang Ahok - yang melibatkan Presiden Jokowi. (Kasus UPS jika dibuka pada masa prapilpres 2014 dapat dipastikan akan menjungkalkan pencapresan Jokowi. Pernyataan Ahok yang menyebut kasus dana siluman sudah lama, namun Ahok menunggu sampai Jokowi menjadi presiden menunjukkan adanya permainan politik Ahok yang kuat. Nah, ketika Jokowi telah menjadi presiden, Ahok berkoordinasi dengan Jokowi untuk menyingkap dana siluman dan keterlibatan DPRD DKI. Nah, jebakan yang dilakukan adalah Ahok membuat kisruh informasi terkait APBD. Dari situlah sampai Ahok menantang - yang digunakan sebagai peluit pembuat rusuh - siapa yang masuk penjara: Ahok atau anggota DPRD DKI.)
Lulung selama ini merasa besar dan memiliki kekuatan politik. Senyatanya, kekuatan politik Lulung ada di Tenabang, bukan dalam skala nasional. Muhammad Taufik pun demikian adanya. Lulung dan M Taufik tidak paham bahwa mereka berada dalam pseudo-power dengan Gerindra dan PPP. Ahok dikenal dekat dengan TNI dan Polri serta Presiden Jokowi. Ketika Prasetyo dipanggil Presiden Jokowi beserta Ahok ke Istana Negara,
Prasetyo diperintahkan untuk tidak melanjutkan kisruh di DPRD. Tekanan terhadap Prasetyo disampaikan dengan penekanan kekuatan Presiden Jokowi yang didukung oleh Luhut Panjaitan, Marciano Norman, Jenderal Moeldoko yang secara tegas adalah pendukung konstitusi dan lembaga kepresidenan yang memiliki keterkaitan dengan Ahok - ketika menjadi Gubernur. Maka HMP (Hak Menyatakan Pendapat) DPRD DKI menjadi layu karena kekuatan politik Presiden Jokowi muncul ketika pertemuan berlangsung.
Pun, sejak awal Budi Waseso dengan cepat mengambil alih kasus UPS dari KPK dengan tujuan jelas: alat pencuci kasus Abraham Samad. Dengan menetapkan aggota DPRD DKI (baca: Lulung mendekati menjadi tersangka) maka obyektivitas Budi Waseso dan Polri terkerek dan dukungan masyarakat meningkat. Pasalnya selama ini publik meyakini permainan mafia proyek anggota DPRD DKI, namun sulit dibuktikan. Maka Polri mendahului KPK dan akan bertindak all-out untuk menyeret anggota DPRD DKI ke terali besi. Pun bagi Polri, Lulung tak memiliki nilai strategis politis sama sekali dibandingkan dengan mengamankan citra Polri dan berkiblat pada politik-kekuasaan dan politik-hukum yang Presiden Jokowi dan Ahok jelas lebih memberikan pengaruh dibandingkan dengan Lulung.