Dalam acara Kompasianival 2013 ada hal yang paling menarik, dialog tentang TKI. Dialog tentang TKI selalu menimbulkan emosi yang campur aduk. Yang pasti adalah bahwa TKI adalah sumber devisa di tengah kelalaian pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja di Indonesia. Berbagai negara menjadi tujuan favorit TKI/W, Malaysia, Arab Saudi dan Hongkong selain Singapura dan Taiwan. Namun dari semua permasalahan TKI, keberadaan TKI/W di Malaysia - selain Arab Saudi - selalu menjadi sorotan. Berbagai kasus criminal oleh TKI dan kesewenangan tentara dan polis Diraja Malaysia mewarnai hubungan Indonesia dan Malaysia. Namun melihat kondisi hubungan kedua negara secara menyeluruh, maka hubungan antara TKI dan perlakuan majikan menjadi penting untuk diamati.
Nah, dalam Kompasianival 2013 ini, salut kepada pengelola Kompasiana yang mengangkat isu TKI disandingkan dengan masalah korupsi dan birokrasi. Aneka acara memanjakan para penulis kritis - dengan membuang penulis humoris - yang getol dengan masalah korupsi dan sosial-politik. Hadirnya Abraham Samad dan Basuki Tjahaya Purnama merupakan contoh nyata. Dalam hal TKI, diangkatnya persoalan TKI menjadi sangat menarik karena persoalan TKI adalah persoalan yang sangat kompleks.
Penyorotan kasus Wilfrida - korban trafficking yang berusia di bawah 16 tahun ketika diselundupkan ke Malaysia - adalah contoh bobroknya birokrasi dengan pemalsuan dokumen kependudukan. Dalam hal kasus Wilfrida menunjukkan betapa harga diri bangsa dijual oleh para penguasa yang korup dan memermainkan hukum.
Sebenarnya kasus Wilfrida adalah gambaran iceberg atau puncak gunung es di laut yang tampak kecil namun sesungguhnya merupakan akibat amburadulnya sistem hukum yang korup, terbukti dengan adanya dokumen palsu yang diterbitkan oleh institusi hukum, negara. Hukum dibeli untuk kepentingan human trafficking baik mafia di Indonesia maupun di Malaysia.
Akibat pejabat dan pemerintah Indonesia tak tegas - tidak seperti Pemerintah Filipina yang membela tenaga kerja di luar negeri dengan sengit - maka bangsa Indonesia harga dirinya pun dilecehkan. Yang paling mencolok adalah ucapan warga Malaysia yang selalu menyebut kata Indon atau Indo untuk menyebut Indonesia atau orang Indonesia. Ini bukti penghinaan terhadap bangsa Indonesia. Terlebih lagi konotasi penyebutan Indon dan Indo adalah wujud pelecehan, penghinaan, dan pengecilan terhadap orang dan bangsa Indonesia.
Akibat dari penghinaan ini, masyarakat Indonesia di Malaysia sering mengalami masalah dengan terletupnya emosi dan ketersinggungan ketika dipanggil Indon atau Indo oleh warga Malaysia. Penghinaan ini sering menimbulkan dendam dan bahkan perilaku buruk bahkan kriminal oleh TKI dan warga negara Indonesia di Malaysia. Kini bahkan di Indonesia, bahkan di Kompasiana telah muncul masyarakat Indonesia dan bahkan Kompasianer terjangkiti oleh Malaysia yang menyebut Indonesia dengan kata Indon atau Indo. Tindakan ini merupakan sikap ‘minder dan inlander' yang mengikuti cara hinaan warga negara Malaysia terhadap Indonesia.
Jadi, kita harus peduli dan mendudukkan jati diri bangsa Indonesia dengan menolak hinaan Malaysia yang menyebut rakyat Indonesia sebagai Indon atau Indo. Harga diri bangsa Indonesia harus ditegakkan dan semua itu dimulai dari hal kecil: penyebutan Indon dan Indo oleh Malaysia harus ditolak karena menghina bangsa Indonesia.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H