Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Septi , LHI-Ahmad Fathanah, Bilik Asmara, dan Hakikat Cinta Menurut Sufi

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Septi S meminta KPK untuk menyediakan bilik cinta, kamar asmara sesuai permintaan Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq - untuk tak menyebut tempat melakukan hubungan seksual bagi tahanan dan orang yang dipenjara. Permintaan Septi itu merupakan permintaan manusiawi seorang istri koruptor Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq yang ditahan di Guntur.

Bagi banyak orang, permintaan itu dianggap aneh dan berlebihan. Permintaan kamar bercinta seorang ustadz semacam Ahmad Fathanah itu tampak sekali sangat menyentak - seolah Ahmad Fathanah tak tahan untuk tidak melakukan hubungan seks dalam waktu yang lama. Bagaimana dan apakah permintaan itu berdasarkan cinta atau hanya keinginan memenuhi nafsu belaka - yang juga manusiawi? Mari kita bahas sesuai dengan pemahaman sufisme dalam kaitan cinta.

Cinta terbagi menjadi dua. Cinta dalam hati dan cinta dalam jiwa. Cinta dalam hati hanyalah bunga-bunga kehidupan duniawi dan belum menunjukkan makna hakikat cinta. Hanya cinta yang ada dalam jiwa saja yang memiliki makna cinta ilahiyah. Cinta yang hanya ada di dalam hati hanyalah cinta duniawi karena hati hanyalah tempat emosi dan perasaan berlangsung.

Semua hal yang terkait dengan emosi adalah bentuk layanan hati kepada jiwa. Hati hanyalah alat untuk melayani jiwa. Maka ketika cinta hanya sampai ke dalam hati, maka cinta itu hanyalah cinta duniawi. Itu bukan cinta ilahiyah yang memberi makna bagi pembebasan jiwa.

Cinta yang hanya berlangsung di dalam hati hanyalah bunga-bunga kehidupan yang tak memiliki keabadian. Cinta yang ada di dalam hati hanyalah kebutuhan sementara pelayanan hati untuk dirinya sendiri. Cinta dalam hati selalu terkait dengan kebutuhan raga. Qalbu adalah tempat berlangsungnya semua emosi: marah, senang, cinta, benci, jengkel, iri, dengki dan semua perasaan.

Maka, mencintalah engkau dalam jiwa. Jika belum mampu mencinta dalam jiwa, maka cinta yang kau rasakan terhadap apa pun maupun siapa pun akan menimbulkan hanya bunga-bunga penghias kehidupan duniawi dan melayani kebutuhan hati dan raga, bukan kebutuhan jiwa, apalagi pembebasan jiwa.

Cinta yang sesungguhnya adalah dalam jiwa dalam rasa indah dalam Allah SWT. Cinta yang demikian itu membuat jiwa merasa penuh. Jiwa merasa nyaman - akibat hati melayani jiwa dengan segala aktivitas kesadaran yang diperintahkan oleh jiwa yang merupakan tuan bagi hati. Esensi cinta yang sesungguhnya adalah ketika segala rasa dikembalikan dan dikendalikan oleh jiwa. Cinta yang demikian itu menimbulkan rasa dalam jiwa yang tenang - bukan perasaan dalam hati yang selalu terombang-ambing tak menentu.

Cinta dalam jiwa adalah ketenangan dan kedamaian konstan yang tak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Cinta seperti itu terjadi dan terbentuk dalam pelayanan hati - yang sebagai akibat perintah jiwa kepada hati untuk melayani jiwa sebagai tuan yang memerintah hati. Cinta yang konstan dalam alam jiwa yang ilahiah, hakikiyah, dan abadi dalam arti memiliki makna mengikat jiwa selalu menimbulkan rasa luar biasa; sekali lagi bukan perasaan. Rasa itu hadir dirasakan dalam jiwa bahkan dalam wujud rasa yang mendekati rasa kehadiran Allah dalam jiwa.

Allah hadir di dalam jiwa manusia baik yang mengakui maupun tidak. Rasa ketuhanan itu muncul secara otomatis dalam setiap jiwa manusia. Manusia sejak kelahirannya dan dalam kesadaran manusiawinya - sebenarnya itu rasa keilahian bawaan alamiah manusiawi - selalu merasakan ada ‘yang menciptakan diri dan alam semesta'.

Maka, bagi pemaham sufisme, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang hadir dalam jiwa yang menyerupai rasa hadirnya Allah SWT di dalam jiwa - bukan dalam hati. Bahkan iman yang hanya ada dalam hati hanyalah iman berwujud pelayanan hati kepada jiwa dan tak menyentuh makna iman yang seharusnya yang ada dalam jiwa.

Jika belum paham soal yang sederhana seperti ini maka akan timbul rasa cinta yang hanya duniawi semata dan justru mewujud dalam rasa nafsu kebinatangan - tingkat rasa ketuhanan paling rendah dalam tingkatan hakikat cinta kepada Allah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline