Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Andi, Angelina dan Tukang Gali Tanah (18)

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kejenuhan melandaku. Liburan panjang sekolah ini membuat kesibukanku sangat berkurang. Biasanya aku pada pagi hari berangkat ke sekolah membawa daganganganku Siomay ke sekolah. Mengenai kegiatan aku ini banyak yang tak menyangka kalau aku juga punya teman selain di dunia otomotif juga dunia pemerintahan. Aku memang berada di dua lingkungan yang berbeda. Ketika aku di Kantin Sekolah ini yang aku temukan adalah kenyataan hidup yang sesungguhnya. Di sinilah aku mengumpulkan uang sepuluh ribu, tujuh ribu sampai sekitar ratusan ribu per hari. Ini uang yang menurut aku cukup untuk hidup.

Namun yang menjadi masalah saat ini adalah nyatanya aku harus menghidupi diri dan kedua anakku. Dan secara tak sengaja suamiku yang baru beberapa bulan lalu pensiun juga menjadi tanggungan aku. Ikut makan. Aku juga belum bisa keluar dari rumah meskipun suamiku sudah menanyakan kapan aku akan keluar dari rumah. Aku selalu menjawab aku akan keluar rumah nanti kalau uang sudah terkumpul.

Yang paling menjadii pertimbangan aku adalah aku tak bisa hidup tanpa kendaraan. Kendaraan itu yang membawa aku dan mengantarkan aku ke Kantin Sekolah dan membawa dagangan. Aku tak mampu bepergian dengan kendaran umum di Jakarta. Itulah yang menjadi pertimbanganku. Mobil yang aku pakai ini adalah mobil milik kantor perusahaan yang masih harus dibayar cicilannya. Aku tak tahu sampai kapan mobil ini masih bisa aku pakai.

"Hai ngapain kamu Sri...mendingan jalan-jalan yuk ama aku?" begitu bunyi BBM dari Niko.

"Emang kamu lagi ngapain?" tanyaku

Saya diajak Niko iseng melakukan perjalanan sehari hari itu. Mencari jawaban dan pendapat tentang Andi Mallarangeng dan korupsi di mata mereka. Niko sengaja menarik mereka untuk memberi komentar pada koruptor Andi Mallarangeng. Ternyata para tukang yang aku dan Niko temui paham dan melek informasi. Mereka pantas mendapatkan gelar Tanpa Ngeblog Tervaforit dari Kompasiana. Pasalnya tanpa banyak membaca mereka semua sangat mampu mengambil intisari kebenaran yang ditulis para Kompasianers. Luar biasa bukan? Mari kita tengok apa yang mereka sampaikan yang jelas akan membuat kita semua kembali merenung.

Ini yang aku temui di Pulogadung, Tukang Kerak Telur bernama Nazaruddin.

Tak ada jalan yang tidak belok pada akhirnya. Tidak ada kebenaran yang tidak salah pada akhirnya. Tidak ada kesalahan yang tidak benar pada akhirnya. Tidak ada yang halal dan haram pada akhirnya. Tidak ada kebaikan dan keburukan pada akhirnya. Tidak ada kehormatan dan keaiban pada akhirnya. Akhir dari keseluruhan itu hanya: uang. Dan uang bukan segala-galanya.

Kalimat-kalimat itu muncul pada akhir pembicaraan suatu diskusi. Bukan di ILC atau seminar nasional yang dihadiri oleh profesor Komaruddin Hidayat. Atau Quraish Syihab. Bukan. Itu keluar dari mulut Nazaruddin, Tukang Kerak Telur yang biasa mangkal di kios kecil di area parkir sebuah mall di kawasan timur Pulogadung.

Selanjutnya aku pergi ke perumahanku di Rawamangun. Di situ aku bertemu dengan Angelina Sondag.

Semua diukur dengan mobil. Semua diukur dengan rumah mewah. Semua diukur dengan gebyar luar istri cantik. Semua diukur dengan pesta pora. Semua diukur dengan benda yang terlihat di depan mata kita: harta benda adalah tujuan dari hidup. Padahal barang-barang itu tidak dibawa mati. Harta. Dan harta bukan segala-galanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline