Arab Springs alias Revolusi Arab yang menyebar di Afrika Utara menjalar ke Syria setelah Mesir. Selama 19 bulan kerusuhan konflik di Syria atau Suriah telah menewaskan 32,000 nyawa. Tak terbayangkan kerusakan di kota-kota di seluruh Syria. Ratusan ribu pengungsi mengalir ke negara tetangga, terutama Turki. Namun, hubungannya dengan Turki juga tidak baik, sehingga kondisi para pengungsi sungguh mengenaskan. Musim dingin akan semakin memuncak dan kondisi itu akan sangat menyengsarakan bagi rakyat.
Kenapa pemberontakan di Syria belum berlarut-larut? Kenapa pula Barat tampak enggan melakukan intervensi langsung dan cepat seperti tindakan kepada Lybia? Lalu apa pelajaran yang bisa diambil untuk Indonesia?
Kota-kota di luar Damaskus sejak 18 lalu seperti Idlib, Homs dan kota-kota lainnya telah porak-poranda sejak mulainya pemberontakan. Pemerintah Assad yang lemah - namun didukung oleh Russia, China, Iran dan faksi di Lebanon - melakukan serangan yang disebut serangan terhadap teroris. Kota Damaskus sendiri baru mulai terusik oleh para pemberontak sejak minggu lalu. Pembomban yang menewaskan ratusan orang mulai terjadi di Damaskus. Hari ini (04/11/2012) pasukan pemberontak menyerang Pangkalan Udara dengan mortir di luar Kota Damaskus.
Posisi Presiden Assad sampai saat ini masih kokoh dan menguasai angkatan bersenjata Syria. Assad dipastikan tak akan mundur dan hanya akan menyerah jika telah benar-benar kalah. Konsekuensi bagi mundurnya Assad adalah Assad akan dihukum mati jika menyerah atau mengundurkan diri. Jelas Assad tidak akan menyerah dan segala kekuatan akan dikerahkan untuk memertahankan kekuasaan.
Barat ternyata tidak membantu pemberontakan di Syria seperti yang terjadi di Libya. Beberapa penyebabnya antara lain (1) sumber daya alam Syria yang tidak memiliki minyak melimpah seperti Libya, (2) posisi Syria yang berbatasan dengan Israel, (3) masuknya para kaum jihadist dari luar Syria, (4) tidak ada persatuan dari kelompok pemberontak.
Sumber daya alam Syria yang tidak sekaya Libya jelas tidak menarik Barat untuk membantu secara keuangan dan militer secara penuh. Tidak ada keuntungan ekonomi pasca Syria jatuh ke tangan pemberontak. Tidak ada jaminan keuntungan ekonomi besar dari Syria.
Posisi Syria yang berbatasan dengan Israel pun akan membahayakan Israel jika Negara itu jatuh ke tangan Islam radikal, jihadist atau unsur Al Qaeda. Israel dan Syria secara hukum masih berstatus perang. Dataran tinggi Golan masih dikuasai oleh Israel dalam nama status resmi, zona demilitarisasi. Jatuhnya Syria ke tangan Islam garis keras membahayakan Israel dan menguatkan Hezbollah dan Iran.
Masuknya kaum jihadist, kelompok Islam radikal, yang menumpang pemberontakan di Syria akan merepotkan Barat dan merugikan kepentingan Barat (Amerika Serikat) dan Israel.
Alasan lainnya adalah Dewan Nasional Suriah atau Syrian National Council (SNC) tak berhasil membentuk satu kesatuan pemberontak. Mereka terpecah-pecah sesuai dengan kepentingannya dari segi latar belakang seperti (1) para disertir militer, (2) pemuda yang direkrut anti Assad, (3) para pemberontak dari luar Syria yang terdiri para teroris dan Islam garis keras dari berbagai Negara dengan bendera Al Qaida.
Indonesia sebagai Negara Islam terbesar, dengan identitas Islam moderat, menjadi incaran para teroris Internasional melalui berbagai cara (1) organisasi kemasyarakatan bergaris keras seperti Hizbut Tahrir, (2) para teroris internasional dan regional (kelompok Malaysia dan Asia Selatan), (3) kelompok alumni Afghanistan yang meneror dan melakukan pemboman di berbagai daerah, (4) kelompok teroris ajaran kekerasan asuhan seperti Ustadz Abubakar Ba'asyir, (5) kelompok teroris rekruitmen baru dari ajaran usroh (bawah tanah) yang menyusup melalui lembaga pendidikan menengah dan tinggi.
Cara berbagai kelompok ini sangat halus dan selalu memanfaatkan kondisi antara lain (1) geopolitik, (2) kelemahan kepemimpinan nasional, (3) ketimpangan ekonomi dan sosial, (4) sentimen etnik dan keagamaan.