Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Pembunuhan SMA 6 oleh SMA 70 dan Pengaruh Idiologi dan Psikologi Kekerasan FPI di Masyarakat

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembunuhan berdarah dingin atas seorang siswa SMA 6 oleh SMA 70 menarik perhatan khalayak. Pembunuhan itu menjadi menarik karena dilakukan oleh anak SMA 70 pada anak SMA 6 - sekolah elit atas sekolah elit. Adakah benang merah antara tidndakan brutal mencabut nyawa orang dengan suasana idiologis dan chaos di lingkungan masyarakat? Apakah kondisi di luar rumah memengaruhi para pelajar? Apakah organisasi penganut paham kekerasan seperti FPI memengaruhi anak didik kita?

Idiologi dan psikologi kekerasan Front Pembela Islam (FPI) menjadi daya tarik untuk dikaji. Apa sebenarnya yang mendasari FPI untuk bertindak sesuatu? Idiologi seperti apa yang mereka percayai sehingga bisa membius banyak pengikut? Apa pula landasan teori kekerasan FPI dan bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat umum?

Jika kita membicarakan idiologi FPI dengan nama mentereng di belakangnya Islam seharusnya wajah FPI sejuk. Wajah FPI santun. Wajah FPI sopan. Wajah FPI menggambarkan Islam sebagai rahmatan lilalamin. Gambaran yang tercipta adalah para manusia berpakaian santun yang berjalan dengan langkah-langkah pasti dan tatapan mata damai sejahtera. Sebagai pembela Islam, FPI pastilah memiliki idiologi Islam yang kuat. Pertanyaannya, kenapa gambaran dan kesan FPI di masyarakat demikian kuat, bahwa FPI adalah organisasi pro kekerasan, anarkis dan senang membuat keributan?

Gambaran FPI di masyarakat cenderung negatif. Namun demikian, pemerintah jutru hanya berkoar-koar saat FPI terlibat tindakan anarkis. Pembunuhan di Tanjung Priok, tragedi Cikeusik, dan aneka penyerangan terhadap kafe dan tempat hiburan marak terjadi yang disinyalir meilbatkan FPI. Akan tetapi pemerintah, dari presiden sampai menteri, gubernur daan walikota, hanya berjanji menindak dan berpidato akan membubarkan ormas anarkis. Lagi-lagi tidak ada tindakan yang nyata hanya sebatas retorika.

Keadaan ini semakin membuat FPI serasa mendapat dukungan, baik dukungan dan dorongan. Bahwa kekerasan yang dilakukannya tidak ada yang berani melawan. Keyakinan akan idiologi dan paham kekerasan yang diyakini dan dipraktikkan ternyata tidak mendapat tentangan dari siapapun. Kecenderungan takut terhadap FPI oleh masyarakat dan pemerintah menyebabkan FPI menjadi smakin tak terkendali. FPI semakin nekat dan merasa berjalan di atas hukum - out law - namun diamini oleh penguasa. Ironisnya, lagi-lagi masyarakat tidak melakukan perlawanan terhadap eksistensi organisasi kemasyarakatan pengusung idiologi kekerasan atas nama agama ini.

Yang nyata dari perkembangan FPI adalah FPI lahir setelah reformasi 98, bersamaan dengan lahirnya Lasykar Jihad. Bersamaan dengan kran kebebasan dilepas. Anehnya para komandan atau pimpinan FPI adalah orang-orang yang bukan keturunan Melayu atau berasal dari Yunan. Para pemimpin FPI buhkanlah para Kyai para Ulama Indonesia yang mendapat pendidikan lewat Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah atau Persis misalnya.

Para pemimpin mereka berasal dari orang import dari Arab Saudi atau Yaman. Tidak ada yang salah dengan kearabannya; yang salah adalah budaya Arab barbar yang dibawa yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia kini yang diyakini oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Kita juga tahu bahwa tidak ada satupun agama dan keyakinan besar yang bukan impor dari Timur Tengah atau India. Namun budaya itu telah berakulturasi dan menemukan tempat berbaur indah di Indonesia dalam keindonesiaan.

Baldatun toyyibatun warabbun ghofur itu menemui tempatnya di Nusantara. Budaya asli - local genius - berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya pendatang dari luar. Jadilah warna agama dan kepercayaan khas Indonesia. Ada Hindu Bali, ada Buddha Mahayana dan Hinayana, ada Islam, ada Kristen Jawa, Kristen Batak, Kristen Toraja, Kristen Minahasa ada Katholik dengan santo-santo Jawanya, santo dari Flores, dan sebagainya.

Islam sebagai agama terbesar menjadi unsur penentu kedamaian pada kurun waktu sejak abad ke-15, sekitar 500 tahun belakangan ini.Negara-negara kerajaan di Nusantara semuanya memiliki kekuatan Islam dan local genius kuat. Bahkan sebelum kekuasaan Islam menggantikan dominasi Hindu Buddha, bangunan candi-candi di Indonesia memiliki keunikan gabungan dan fungsi khas Indonesia. Masjid-masjid pun memeluk arsitektur khas Nusantara, tidak selalu meniru gaya Eropa berupa kubah.

Dari sejarah itu, konflik horizontal dan kekerasan penyebaran Islam hanya terjadi melawan penjajah Belanda, Spanyol, Portugis. Penaklukan dan kejatuhan Majapahit - benteng terakhir Siwaisme di Nusantara juga bukan melalui kekerasan. Namun melalui akulturasi budaya sebagaimana digambarkan oleh Walisongo. Bukti tidak ada tindakan kekerasan pada masa lampau adalah bangunan-bangunan kejayaan Hindu-Buddha tidak sepenuhnya dimusnahkan. Tidak ditemukan bukti penyebaran agama Islam di Nusantara di tengah masyarakat Hindu -Buddha melalui jalan kekerasan.

Kini, ketika zaman sudah modern, penyebaran Islam dan dakwah seharusnya memiliki warna lebih beradab. Lebih indah dengan mengamalkan rahmatan lilalamin. Psikologi pro kekerasan di masyarakat yang dipraktikkan oleh FPI - baik melalui tindakan fisik dan ancaman seperti akan membubarkan konser Lady Gaga, Jennifer Lopez, dan mengingatkan pemerintahan Jokowi-Ahok - tentunya memengaruhi psikologi anak-anak, remaja dan dewasa. Masyarakat menjadi merasa terbiasa dengan paparan kekerasan ala FPI, sehingga secara tidak sadar meniru. Maka kekerasan dengan bahkan membunuh menjadi pengalaman biasa di tengah masyarakat yang semakin ketakutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline