Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Mendobrak Bahasa Indonesia yang Takut pada Pembentukan Kata-kata Baru

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Setelah menulis beberapa artikel tentang bahasa Indonesia yang hebat, penulis ingin lebih jauh menengok ke dalam bahasa Indonesia (baca: gramatika) untuk memenuhi hasyrat sebagai bahasa modern dan dunia.

Sebagai contoh, dari segi kelenturan dalam pembentukan kata dan penyerapan kata dari berbagai bahasa di dunia, bahasa Indonesia terbukti tidak mengalami kegagapan sama sekali. Misalnya tentang cara penulisan kata-kata serapan dari bahasa Arab, bahasa Indonesia dengan mudah menerimanya. Contoh kata Jum'at. Sekarang ditulis Jumat dengan kesepakatan pengucapan /jum at/.

Demikian pula dengan bahasa lain seperti bahasa Inggris dengan mudah diindonesiakan. Saking fleksibelnya bahasa Indonesia dalam menyerap kata asing dan daerah bahkan kita bisa membaca surat kabar dengan banyak sekali istilah asing di dalamnya. Itu ciri bahasa yang hidup yang tak perlu dikhawatirkan. Kata-kata seperti manajemen, kongruen, aklimatisasi, inklusif, prinsip sudah menjadi kata-kata yang diterima sebagai bagian kosa-kata bahasa Indonesia.

Namun dalam rangka menuju bahasa Indonesia sebagai bahasa modern, ada kekhasan keunggulan bahasa Indonesia dalam pembentukan kata yakni: imbuhan seperti pe-an, ke-an, me-an, ber-, dan lain-lain. Sekilas bahasa Indonesia tidak mengalami permasalahan dalam hal pembentukan kata-kata ini. Namun jika dicermati, pembentukan kata-kata bahasa Indonesia belum memiliki standard yang 100 persen logis. Padahal salah satu cara mempercepat bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia adalah tata bahasanya yang logis sehingga mudah dipelajari baik oleh para penutur asli (bahasa ibu atau bahasa kedua) maupun oleh orang asing.

Kata menarik misalnya. Kata menarik berasal dari lema tarik dengan mendapat imbuhan me. Jadilah kata menarik. Menarik menjadi kata sifat yang berasal dari kata kerja tarik. Bagaimana dengan kata jalan? Kata jalan bisa mengalami pembentukan seperti berjalan, menjalankan sebagai kata kerja, jalanan (kata benda), berjalan (kata kerja), jalani dan jalankan (kata kerja perintah).

Dari dua kata jalan dan tarik seharusnya dengan serta-merta kita mampu membentuk kata seperti bertarik, menarikkan, bertarikan, tertarikan, tarikan (sama dengan jalanan dari kata jalan). Juga bentukan kata seperti bertarik (sebagai pembandingnya bentukan kata berjalan), tariki (jalani), tarikkan (jalankan) seharusnya juga dapat dibentuk dengan berani.

Masalah yang membelit bahasa Indonesia adalah ketidakberanian bahasa Indonesia meninggalkan perasaan dalam pembentukan kata-kata. Ada kata yang bisa dibentuk dengan imbuhan tertentu ada yang tidak bisa dibentuk dengan imbuhan tertentu pula. Dasar dari ketidakberanian memanfaatkan imbuhan-imbuhan untuk pemaknaan yang lebih luas sebenarnya bisa dirunut dari sejarah bahasa Indonesia yang tata bahasanya kali pertama ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Beliaulah yang secara logis memperkenalkan tata bahasa Indonesia. Dari dalam pribadi Sutan Takdir Alisjahbana yang penyair dan budayawan yang penuh perasaan dan sekaligus sangat logis itu tata bahasa Indonesia lahir.

Contoh lain pembentukan kata dari kata sifat. Misalnya senang. Dari kata senang bisa dibentuk kata menyenangkan (bisa kata sifat atau kata kerja), menyenangi (kata kerja), kesenangan (kata benda). Namun kita seakan ragu membentuk kata penyenangan (kata benda). Bagaimana dengan kata marah? Bisa dibentuk kata-kata seperti kemarahan (benda), namun kita ragu membentuk kata memarahkan (artinya membuat atau menyebabkan orang lain marah).

Kata senang juga bisa diimbuhi ber- menjadi bersenang, namun tetap saja merasa kurang pas kalau tidak berbentuk bersenang-senang. Maka kata marah akan menjauhi banyak imbuhan sehingga tak muncul kata bermarah, padahal kita masih bisa menerima kata bermarah-marahan!

Dari beberapa contoh di atas Pusat Bahasa, para wartawan, ahli bahasa, pemakai bahasa, editor dan penulis juga harus berani melakukan percobaan-percobaan untuk mendorong pemakaian imbuhan yang lebih logis dan bervariasi. Dengan demikian bahasa Indonesia menjadi lebih mudah dipelajari oleh siapa pun.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline