Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Musuh Foke Bukan Jokowi, 51 % Warga DKI dan Foke Sendiri

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam Pilkada DKI, Foke mati-matian berjuang untuk mempertahankan diri sebagai gubernur DKI. Segala daya dan upaya, usaha dan ikhtiar dilakukan agar kursi kekuasaan digenggam. Partai-partai digalang untuk mendukungnya. Namun Golkar dan PKS lebih memilih Alex dan Hidayat untuk maju melawan petahana. Hasilnya, cagub Golkar dan PKS terkapar pada pilkada putaran pertama.

Upaya Foke untuk menarik perhatian warga DKI antara lain dengan mengedepankan kebetawiannya. Hasilnya kampanye primordialisme kesukuan. Bahkan jauh-jauh hari Foke menyampaikan ketidakrelaannya kalau tanah Betawi alias Jakarta dipimpin oleh orang yang bukan dari Jakarta. Tidak puas dengan gaya bahasa politis, Foke mengeluarkan pernyataan: Jokowi cuma orang kampung.

Dua pernyataan itu bukannya mendapat sambutan warga DKI, malah Foke dicap sebagai orang yang tidak paham realitas. Realitas DKI yang pluralistis, multi ras dan bangsa. Dan realitas siapa Foke sebenarnya. Tentang realitas bahwa suku Betawi di Jakarta tak lebih dari 5% penduduk DKI. Realitas tentang Foke sendiri tidak disadari baik soal kesukuan dan kejawaan dan kebetawiannya sekaligus. Foke lupa siapa dirinya. Foke menjerumuskan dirinya sebagai orang yang gagap melihat kenyataan.

Saking bingungnya dan takutnya dengan Jokowi dan Hidayat Nur Wahid, Foke membeli lembaga-lembaga survei dengan menyatakan bahwa Foke akan memenangi Pilkada DKI Juli 2012 dengan satu putaran saja. Hasilnya 34% suara untuk Foke. Dasar Foke, pucat pasi dan kaget dengan hasil yang jeblok, segera Foke membayar ustadz-ustadz untuk kampanye pada bulan Ramadan. Ditambah Rhoma Irama yang jelas-jelas mengampanyekan SARA. Hasilnya kelihatan warga DKI diombang-ambingkan dengan memilih antara surga dan neraka. Seolah kalau memilih Jokowi-Ahok haram - seperti yang difatwakan oleh MUI DKI. Padahal urusan kekuasaan manusia tak ada hubungannya dengan akhirat. Pejabat korupsi itu yang masuk neraka. Kalau masuk neraka, itu jutaan warga Solo akan masuk neraka karena memilih Jokowi dan wakilnya yang beragama selain Islam. Buktinya dua kali masa jabatan di Solo.

Jadi upaya Foke ini justru semakin menunjukkan betapa kerdil dan piciknya seorang gubernur DKI, kota metropolitan paling kumuh di dunia. Hingga dijuluki oleh Riza Patria sebagai BERKUMIS berantakan kumuh dan miskin. Cara berpikir yang kerdil dan meremehkan siapapun di luar dirinya itu semakin ditunjukkan menjelang pilkada DKI putaran kedua pecan depan.

Lihatlah bahasa tubuh Foke yang sangat percaya diri. Dalam ilmu psikologi, jika orang terlihat terlalu percaya diri, ada dua kemungkinan. Pertama orang hebat atau orang kerdil. Contohnya Presiden Soekarno dan John F Kennedy tampak selalu tampil percaya diri. Mereka adalah orang hebat. Orang yang kerdil namun sok percaya diri contohnya Hartati Murdaya misalnya. Begitu masuk bui takut mati. Foke jelas bukan termasuk golongan Soekarno dan John F Kennedy.

Menghadapi kebakaran di puluhan kampung kantong-kantong suara Jokowi, pernyataan seorang gubernur seperti,"jika ada kebakaran di Syria, itu tanggung jawab Foke' adalah contoh pernyataan ‘merasa ada yang salah dengan kebakaran di banyak tempat di DKI'. Bahkan dalam salah satu rekaman Video, Foke secara terang-terangan menghubungkan korban kebakaran dan pembangunan dengan pilkada DKI yang intinya dia akan membangun, bukan Jokowi. Ini jelas bukan omongan seorang gubernur, namun lebih dari ungkapan orang frustasi.

Foke gagal memrovokasi Jokowi. Pendukung Foke, Rhoma Irama gagal juga menjebak Ahok untuk menyerang balik Rhoma Irama dan Foke. Tidak putus asa Foke mengirimkan Amien Rais untuk berkoar-koar tentang kejelekan Jokowi. Tak lupa Hidayat yang sudah mendapat ‘wani piro' dari Foke juga menuduh Foke tak amanah. Hasilnya tidak tampak adanya penyurutan dukungan kepada Jokowi-Ahok. Saking bingungnya Foke mengirimkan ketua DPR yang anggota DPP Demokrat untuk ikut berkampanye SARA. Hasilnya? Rhoma, Rais, Alie dikecam masyarakat.

Pantang berputus asa, Foke mengerahkan seluruh daya dengan merangkul semua partai. Partai dan elite partai diborong untuk mendukung pada putaran kedua. Rakyat DKI ditunjukkan tentang betapa semua partai mendukung Foke kecuali dua partai Gerindra dan PDIP. Foke bermimpi kejadian tahun 2007 terjadi lagi ketika mengalahkan kesombongan PKS yang mengusung Adang Daradjatun. Saat itu yang dilawan adalah kesombongan PKS yang ditakutkan karena isu primordialisme. Foke menang. Keadaan ini sekarang berbalik. Puluhan partai pendukung itu hanya pepesan kosong yang dihadapkan pada pilihan rakyat yang sudah muak pada janji-janji Foke selama lima tahun.

Semua perbuatan, komentar miring, gaya bahasa dan bahasa tubuh Foke dan langkah-langkah penggalangan dukungan partai-partai korup dan pendukung nasi bungkus, justru semakin menjauhkan Foke dengan para pemilihnya. Komentar miring soal Ahok oleh Rhoma dan komentar buruk tentang Jokowi oleh Amien Rais sesungguhnya justru membunuh hubungan baik Foke dan para pemilih. Kontra produktif karena reputasi Rhoma Irama dan Amien Rais yang tak sepenuhnya baik.

Terakhir, kampanye negatif dan hitam dengan menghubungkan Jokowi-Ahok dan Hercules yang dilakukan oleh pendukung Foke, semakin menunjukkan sifat asli dan rasa frustasi Foke. Foke dengan segala sepak terjangnya menunjukkan dirinya sebagai musuh atas dirinya sendiri. Artinya tergerusnya dukungan kepada Foke disebabkan oleh sifat dan karakter Foke yang memusuhi dirinya sendiri, tanpa orientasi yang jelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline