Pilkada DKI menjadi pilkada di Indonesia yang paling mengerikan. Banyak sekali kejadian yang patut dan tak patut ditonton. Semua mewarnai Pilkada. Para calon mulai Foke, Alex, Jokowi sampai Hidayat. KPU juga berperan. Panwaslu juga tak kalah perannya. Lalu para pendukung calon gubernur baik dari kubu Jokowi maupun Foke, seperti Rhoma Irama tak kalah mewarnai kengerian Pilkada DKI kali ini.
Yang patut ditonton salah satunya adalah para calon yang memberikan gambaran positif. Dari semua calon awalnya Faisal Basri dan Alex Noerdin kelihatan positif. Namun suaranya jeblok. Ini tak lepas dari kekuatan baru muncul Jokowi-Ahok. Jika Jokowi-Ahok tidak muncul, maka Alex dan Faisal Basri dipastikan akan muncul dan mampu mendulang suara cukup signifikan. Namun pada akhirnya kedua orang ini tak patut ditonton. Ujung-ujungnya mendukung status quo, Foke. Faisal dengan prinsipsipnya tidak melakukan endorsement sama saja dengan mendukung status quo, setali dengan Alex yang akhirnya merapat ke kubu Foke.
Yang tak patut ditiru pula Hidayat Nur Wahid. Orang PKS ini lucu habis. Menyerang habis-habisan Foke dan anti status quo, eh pada akhirnya malah memeluk mesra Foke dengan jurus: Wani Piro! Katanya ingin perubahan, malah bermesraan dengan status quo. Jurus Wani Piro dan gaya bermain ‘mahar' elite PKS yang innalillahi wainailaihi rojiun ini tujuannya menghadang Jokowi-Ahok. Namun kalau dicermati perbuatan PKS ini tak lain tak bukan malah menghantam dirinya sendiri. Rakyat makin muak dengan partai politik yang suka dagang sapi, kucing, ayam, babi dan kambing seperti PKS yang wani piro dagang sapi.
Yang tak patut ditiru. Foke. Dialah yang kali pertama mengusung kampanye primordialisme dengan membawa-bawa Betawi dan non-Betawi. Lalu gelontoran ucapannya semakin menjadi saat bulan Ramadhan dengan mengirim penceramah hitam, yang antara lain disampaikan oleh Rhoma Irama. Itulah awal kampanye SARA yang kemudian menjadi tak terkendali dan semakin membuat Pilkada DKI keluar dari rel mencari pemimpin yang besar dan benar.
KPUD DKI juga tak patut ditiru dan ditonton. DPT carut-marut. PKS pada putaran pertama berteriak lantang. Karena DPT dianggap PKS akan menguntungkan Foke. Eh, putaran kedua Hidayat diam karena sudah sekubu dengan Foke. Itulah sikap KPUD yang tak membenahi DPT. Kita lihat di kampung-kampung yang dibakar orang, bagaimana sikap KPUD dengan potensi hilangnya suara dan hak warga?
Tak patut ditiru pula. Panwaslu. Panwaslu DKI ini hanya ada namanya namun tidak punya nyali untuk bertindak. Akibatnya kampanye berbau SARA dan black campaign alias kampanye hitam, jorok, jahat, memfitnah semakin marak. Nyali dan sikap di balik peraturan yang multi-interpretable dijadikan senjata oleh Panwaslu untuk tidak bertindak apa-apa. Ini bisa dilihat dari sikap Panwaslu memutus bebas Rhoma Irama dan juga kasus-kasus kampanye illegal oleh pendukung Foke dan Jokowi. Panwaslu tidak bertaji dan tak dibutuhkan karena tidak berguna dalam menjaga Pilkada yang aman, nyaman, kondusif, dan bermartabat.
Para pendukung yang tak patut ditiru misalnya Rhoma Irama, Amien Rais dan juga ketua DPR Marzuki Alie. Untuk kepentingan perut mereka, partai dan diri mereka, mereka mendorong dan berkoar-koar kepada pemilih untuk memilih Foke lebih ke unsur yang tidak rasional, seperti soal agama dan suku. Alasannya yak arena Foke jeblok prestasinya. Hingga tak ada alasan positif untuk menjual Foke. Maka dengan SARA dijual untuk memojokkan Ahok. Pikiran, taktik, teknik, perbuatan seperti mereka ini tak pantas ditiru.
Parpol juga tak pantas ditiru. Menjijikkan. Kepentingan politik sesaat di Pilkada DKI menjadi contoh Pilkada paling buruk dan tak patut dicontoh di Indonesia. Semua partai berebut saling mendukung petahana alias incumbent si Foke yang jelas-jelas sudah gagal total. Tampaknya partai hanya melihat kepentingan sesaat demi pemilu 2014. Yang jelas punya uang untuk mesin partai ya Foke.
Dari semua yang tersebut di atas, sesungguhnya saat ini sedang terjadi testing the water terhadap demokrasi di Indonesia. Pilkada DKI akan member gambaran sesungguhnya apakah toleransi, perbedaan suku, kelainan agama, demokrasi, masih diberi tempat di DKI yang multi suku dan multi agama? Apakah inklusifitas, apakah minoritas yang baik tetap diakui sebagai bagian dari Indonesia yang lebih besar? Apakah orang jujur Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan diperbolehkan berkiprah di republik ini? Apakah desain besar merontokkan Indonesia - dengan membuang Pancasila dan mengedepankan sikap eksklusif sempit golongan - akan semakin subur di seantero Indonesia?
Jadi demi menjaga dan memberi keutuhan masyarakat, bangsa dan Negara, dengan melihat dan membaca gelagat para calon, pendukung, partai, silakan mikir sendiri dan pilih dengan hati nurani. Jika memilih dengan hati nurani maka pilihan tak jauh dari Jokowi-Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H