Pemancungan terhadap Satinah besok pagi (03/04/2014) batal. Namun, Satinah tetap menunggu dipancung. Uang Rp 12 miliar diterima keluarga Nurah al Gharib yang tewas dibunuh Satinah. Uang itu hanya sebagai uang panjar. Hukuman terhadap Satinah ditunda selama dua tahun. Uang denda yang diminta sebesar Rp 21 miliar harus dibayar. Dari sisi agama Islam yang benar, apakah pembayaran diyat terhadap Satinah pantas dan apakah makna diyat yang sebenarnya? Mari kita tengok menurut hukum agama Islam yang benar tentang diyat dan potret kegagalan diplomasi Indonesia.
Arab Saudi adalah negara kerajaan yang menerapkan hukum Islam secara ketat. Kerajaan Arab Saudi mengikuti tata cara sesuai dengan ajaran Islam konservatif yang dicampur dengan budaya Arab. Sistem diyat sebenarnya berakar dari budaya padang pasir. Budaya kabilah dan budaya keluarga penggembala ternak kambing, unta, kuda dan domba.
Pada zaman dahulu, ribuan tahun lalu, kehilangan ternak menjadi persoalan yang sangat penting diselesaikan. Pencurian ternak diatur dengan menentukan hukuman berupa denda yang nilainya melebihi 10 sampai 100 kali nilai kehilangan ternak yang dicuri. Tujuan pengenaan denda di kalangan kabilah ini menjadi deteren atau alat cegah yang efektif untuk mencegah terjadinya pencurian.
Budaya Arab itu rupanya menjadi salah satu hal yang kebetulan Islam juga mengatur. Dalam kasus pembunuhan, hukum Islam mengatur adanya pembayaran denda dari pelaku pembunuhan terhadap keluarga korban. Tujuan pembayaran denda adalah wujud kemauan baik dari pelaku dan penerimaan dan pemaafan keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan.
Disyaratkan bahwa pelaku pembunuhan melakukan pembayaran diyat atau denda sesuai dengan tuntutan dan kemampuan pelaku pembunuhan. Jika tak mampu membayar diyat, namun ada pemaafan dari keluarga korban, maka ada dua kemungkinan: dibebaskan atau dilakukan eksekusi pemancungan sampai mati. Dengan demikian tak terjadi islah dan pemaafan.
Jika demikian, maka pelaku tidak mendapatkan maaf dan ketulusan pemaafan tak terjadi. Artinya jika syarat besaran diyat tak bisa dipenuhi maka pemaafan tidak diberikan. Lebih jauh maknanya adalah: jika ada uang, maka ada maaf - hal ini menyalahi ajaran hukum Islam tentang diyat itu sendiri. Diyat harus dibayar oleh pelaku - bukan oleh orang lain sesuai ketentuan ajaran Islam - dan jika tak mampu membayar sementara sudah dimaafkan maka pelaku harus bebas dari pemancungan. Namun yang terjadi kebanyakan justru diyat menjadi syarat pemaafan - ini menyalahi hukum Islam yang benar.
Dalam kasus Satinah, Satinah sebenarnya menjadi obyek yang dimanfaatkan oleh keluarga Nurah al Gharib untuk melakukan pemerasan terhadap Satinah. Satinah sendiri dalam budaya Arab dan di mata majikan bukan dianggap sebagai karyawati atau pekerja atau TKW alias tenaga kerja wanita. Satinah dianggap sebagai budak. Cara pandang budaya Arab yang memandang para TKW dan TKI sebagai budak mendominasi para keluarga Arab. Dalam pandangan ini, seorang budak tak memiliki hak apapun. Bahkan sesuai dengan ketentuan dan cara pandang para majikan, TKW adalah budak yang halal untuk disetubuhi dan tak bisa menolak jika majikan lelaki berkeinginan menyetubuhinya. Anak hasil hubungan badan antara majikan dan TKW menjadi hak penuh majikan.
Terkait terjadinya pembunuhan terhadap Nurah al Gharib oleh Satinah, sebenarnya menurut pandangan system perbudakan yang diyakini oleh orang atau majikan Arab, Satinah yang dianggap sebagai budak tak memiliki kewajiban untuk membayar diyat. Satinah sebagai budak tak berpunya alias fakir dan tak layak membayar diyat. Menurut hukum Islam hanya ada dua cara dalam kasus Satinah: Satinah dieksekusi dengan dipancung atau keluarga Nurah al Gharib memaafkan sepenuhnya tanpa diyat. Itu menurut ajaran agama Islam.
Nah, terkait kasus Satinah, penundaan eksekusi pemancungan terhadap Satinah oleh keluarga al Gharib adalah bukti adanya komersialisasi hukum terkait diyat. Pemerintah Indonesia yang membayar 2 juta riyal terhadap kasus Darsem diyakini menjadi preseden tingginya diyat yang diminta oleh keluarga al Gharib. Kini, preseden baru tengah terjadi yakni pembayaran diyat dicicil.
Kondisi tawar-menawar yang terjadi tampak alot. Seharusnya para diplomat RI dan pemerintah Indonesia menemui banyak tokoh agama Islam di Arab Saudi dan menyampaikan tentang ajaran agama Islam yang benar. Yang terjadi adalah tampaknya pemerintah Indonesia terkesan menuruti semua permintaan tanpa adanya strategi menekan dan melakukan diplomasi yang cerdas sesuai dengan pandangan Islam dan budaya Arab.
Para diplomat Indonesia kemungkinan tak memiliki kemampuan berbahasa dan berdiplomasi menurut gaya Arab. Standard budaya Arab dan Islam yang tercampur dan cenderung salah harus dilawan oleh para diplomat dengan menjelaskan hukum agama Islam yang benar tentang perbudakan yang memang masih dipercaya oleh majikan Arab. Namun yang terjadi justru para diplomat mengamini sikap standard ganda para majikan terhadap para TKW alias budak.