Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Jelang Putusan MK, Prabowo Makin Tenggelam dengan Komunikasi Politik Jargon

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cara komunikasi politik Prabowo dan seluruh jajarannya masih saja sama: penuh percaya diri dan mengeluarkan jargon-jargon. Menjelang keputusan diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Prabowo merasa mendapatkan momentum untuk menang. Penyebabnya cuma satu: para saksi ahli semacam Yusril Ihza Mahendra dan Margarito Kamis memberikan kesaksian yang menguatkan klaim Prabowo-Hatta bahwa terjadi pelanggaran hak konstitusional - ini pun salah satu jargon yang dibangun oleh Prahara - sehingga Pilpres seharusnya dibatalkan. Tujuan pidato dan orasi serta pernyataan Prabowo yang berapi-api sekaligus agitatif dan berusaha mengancam dengan bahasa bersayapnya adalah pamer kekuatan. Unjuk kekuatan. Berhasilkah Prabowo memengaruhi Mahkamah Konstitusi (MK). Ya sebagian. Namun pada kesempatan ini justru yang kita diskusikan adalah di balik komunikasi politik Prabowo yang penuh jargon itu.

Cara komunikasi dua kaki penuh jargon yakni memberi apreasiasi dan menantang menjadi ciri komunikasi politik kuno. Cara komunikasi berjargon dengan alasan membela keadilan, membela rakyat, membela merah putih, membela bangsa dan membela kedaulatan, merupakan strategi politik usang - berdasarkan text book alias buku teks strategi orasi politik model kuno tahun 1930-1970-an. Cara komunikasi seperti itu terbukti semakin menenggelamkan diri Prabowo secara politis. Kenapa? Mari kita telaah dengan hati gembira meskipun kepala panas nas.

Cara komunikasi politik ala jargon membela rakyat dan sebagainya, padahal atas nama diri dan kelompoknya, merupakan ciri politikus model tahun 1930-an sampai 1970-an. Zaman dulu, ketika pergerakan para tokoh politik memiliki berbagai macam jargon seperti: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Lalu tahun 1945-1950-an dalam zaman Revolusi Fisik kita mengenal: Sekali Merdeka Tetap Merdeka! Hasilnya luar biasa. Semangat kebangsaan meningkat dan melahirkan gerakan kesadaran untuk mendirikan negara Indonesia merdeka. Dasar para tokoh mengeluarkan jargon-jargon ini adalah untuk menggelorakan semangat.

Zaman Bung Karno pun dibangun dengan aneka jargon politik untuk kelanggengan kekuasaan Bung Karno. Ketika berbagai persoalan membelit terkait kelangsungan hidup Indonesia yang masih muda, Bung Karno pun mulai dengan menggelorakan semangat dengan aneka jargon: ada nasakom (nasionalisme agama dan komunis), ada pula nekolim neo kolonialisme. Semua itu bertujuan untuk menarik simpati pubik. Merangkul aneka golongan yang berseberangan dan memererat golongan pendukung. Itu alat komunikasi politik untuk memengaruhi berbagai pihak. Dasar pengeluaran jargon adalah posisi Bung Karno yang tak sepenuhnya menguasai keadaan - akibat banyaknya dan maraknya kesadaran dan kritikan terhadap Bung Karno.

Presiden Soeharto pun memiliki jargon politik yakni Pancasila. Pancasila digunakan - atau disalahgunakan dan dipelintir - oleh eyang saya Pak Harto dengan sangat strategis dan cerdas. Pancasila menjadi sendi kehidupan bangsa - yang sesungguhnya Pancasila digunakan sebagai alat kontrol terhadap semua politikus. Atas nama Pancasila Pak Harto memegang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka jargon politik itu pun pada akhirnya membungkam seluruh peri kehidupan politik di Indonesia. Dasarnya dan tujuannya adalah Pak Harto ingin stabilitas politik dan keamanan dan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan menjadi panglima dalam kesatuan idiom yang diterjemahkan sebagai stabilitas Ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan). Siapa mengganggu , berseberangan dengan Pak Harto, maka akan dicap anti Pancasila dan masuk bui.

Masa transisi pemerintahan Indonesia di bawah BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono pun ditandai oleh demokratisasi dan kebebasan. Maka jargon-jargon politik BJ Habibie tak lain adalah demokrasi. Pun Gus Dur membawa harapan baru yakni: demokrasi dan HAM. Megawati sebagai pelanjut Gus Dur justru meletakkan kebebasan dan demokrasi.

Hal ini dilanjutkan oleh SBY dengaan jargon kebebasan dan demokrasi sebagai panglima. Dasar dari keempat presiden meletakkan jargon politik yakni demokrasi, kebebasan, HAM adalah untuk memerbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada masa rezim eyang saya Presiden Soeharto kebebasan dan demokrasi adalah barang langka. Maka kebebasan dan demokrasi adalah panglima yang dijunjung tinggi.

Kini, Prabowo dengan berbagai jargonnya bisa dipahami sebagai upaya menggalang opini publik. Prabowo dengan aneka pidatonya yang berapi-api sebenarnya tak lebih dari sedang mencari jati diri untuk membangun kesan, imej, persepsi bahwa Prabowo memiliki kekuatan. Maka dipilihlah idiom-idiom dan jargon politik ala Prabowo yakni ‘demi keadilan', ‘demi demokrasi', ‘demi rakyat', ‘menyelamatkan Indonesia', ‘kedaulatan', dan sebagainya.

Untuk mampu mengeluarkan jargon, seorang politikus harus secara faktual memiliki kekuatan. Nyatanya Prabowo sebenarnya tak memiliki kekuatan apapun. Prabowo hanyalah pemilik partai. Prabowo adalah orang yang ‘dipotensialkan' dan ‘digambar-gambarkan', ‘dipersepsikan', dan ‘dijerumuskan' seolah-olah memiliki kekuatan, kekuasaan, kehebatan dan dukungan semua pihak. Yang sebenarnya, Prabowo dijerumuskan menjadi orang yang bukan dirinya.

Dikelilingi oleh orang semacam Idrus Marham, Ical, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Suryadharma Ali yang belepotan kasus dan kepentingan, jelas Prabowo menjadi alat bagi keselamatan mereka. Maka demi kekuasaan dan kepentingan orang di belakang Prabowo, Prabowo dijelmakan menjadi sosok penuh percaya diri, kepedean, tegas, galak, kuat dan pemberani.

Sementara, belajar dari sejarah, para tokoh pergerakan jelas memiliki massa maka mereka mampu membuat jargon-jargon penting. Bung Karno jelas memiliki kapasitas sebagai orang cerdas, pendiri Republik, penggasa Pancasila, dsb. Pak Harto pun menggambarkan diri sebagai seorang kuat yang tak seorang pun berani mengusik semua ide dan pikirannya. Habibie adalah tokoh bangsa dan negarawan mumpuni yang sangat menjunjung demokrasi selama menjabat sebagai Presiden Ketiga RI. Pun Gus Dur memiliki pengikut dan ulama Indonesia yang sangat pluralis. SBY menjadi pelanjut Habibie dan Gus Dur yang membela demokrasi. Modal kuat SBY adalah akomodatif dan berusaha menyenangkan sebanyak mungkin orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline