Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Kekuatan Jokowi di Balik Manuver SBY di Koalisi Permanen untuk Kepentingan Pasca Lengser

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan SBY kalau tidak bermain di dua kaki. Selama ini SBY sangat lihai berpolitik. Sejak menjadi kadet di Akabri pun SBY adalah ‘si jalan tengah'. Menjadi menteri pun di masa Presiden Megawati SBY juga pencari aman dan manfaat. SBY adalah individu penghindar konflik - namun sekaligus pemanfaat konflik paling jempolan. Menjadi presiden selama dua periode pun SBY berusaha menyenangkan semua pihak. Dalam pilpres pun SBY bermain di dua kaki. Saat ini, kepentingan koalisi permanen dan kepentingan SBY bertemu. Bagaimana maneuver SBY itu penting bagi SBY dan tepatkah SBY condong kepada kepentingan besannya dan Prabowo?

Di balik maneuver SBY itu sebenarnya di sisi lain posisi Jokowi yang semakin mendapatkan dukungan di dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan SBY berpikir ulang untuk sepenuhnya mendukung Jokowi. SBY tidak yakin Jokowi yang kuat akan memberikan perlindungan hukum terkait kaitan isu kasus Ibas di Hambalang dan SBY soal Century. Kekuatan yang menggurita Jokowi diyakini akan merusak ketenangan para mafia yang bermain di segala sektor kehidupan yang tumbuh subur selama pemerintahan SBY.

Di sisi lain, perimbangan kekuatan yang disebut SBY sebagai check and balances sebenarnya dimaksudkan bahwa Jokowi tak akan dibiarkan berkuasa sepenuhnya dan posisi penyeimbang dimaksudkan sebagai penekan terhadap Jokowi jika kepentingan partai-partai pro Prabowo dan para individu yang tersangkut mafia akan diusut atau direcoki oleh Jokowi.

Koalisi permanen bermaksud balas dendam terkait kekalahan pilpres sementara SBY memiliki kepentingan penyelamatan diri Ibas - disebut dalam kasus Hambalang dan SBY sendiri - dalam kasus Bank Century yang dipastikan menyeret Boedino. Dengan posisi yang demikian itu, maka tak salah jika SBY dengan jeli memanfaatkan koalisi permanen yang militant dan membabi-buta untuk menjungkalkan Jokowi sebagai posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan SBY berada di pemerintahan Jokowi.

Terkait persoalan kenaikan harga BBM pun SBY memanfaatkan untuk kepentingan bargaining position atau menaikkan posisi tawar di depan penguasa Jokowi. Secara lebih luas, melihat gelagat kekuatan pro Prabowo tetap ngotot ingin merecoki Jokowi, SBY justru melihatnya sebagai peluang baginya untuk menaikkan posisi tawar dirinya dengan 10 % kursi DPR.

Semua partai politik pro Prabowo - yang berniat menjegal Jokowi dengan seluruh cara - menolak kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga bahan bakar minyak dijadikan isu oleh partai koalisi untuk menggulingkan atau menggoyang pemerintahan Jokowi. Rasionalitas tentang manfaat dari kenaikan BBM atau penghapusan subsidi yang salah sasaran dikalahkan oleh kepentingan politik para partai.

Para politikus menolak penghapusan subsidi BBM karena sesungguhnya subsidi BBM rawan penyelewengan dan hanya menguntungkan para orang kaya, mafia minyak yang terkait dengan para politikus. Banyak pihak di koalisi permanen yang dirugikan secara politis dan ekonomi jika BBM bersubsidi dihapus.

Di tengah tarik-menarik kepentingan para politikus dan penguasa itu, SBY melihat celah bahwa dengan bergabung dengan koalisi permanen maka posisi tawar SBY menjadi lebih tinggi. Namun, jika dicermati posisi SBY yang bergabung dengan koalisi permanen sebenarnya tidak menguntungkan bagi SBY. Kenapa?

Dalam hal kecondongan SBY ke koalisi permanen, sebenarnya adalah kalkulasi salah SBY. SBY akan ditinggalkan oleh beberapa partai begitu lengser dari kekuasaan. Dalam kondisi lemah itu, SBY akan mengalami tekanan politik yang begitu besar ketika Jokowi mulai berkuasa.

Jokowi yang mengandalkan komunikasi terbuka dengan rakyat akan menggunakan rakyat sebagai tameng politiknya. Dalam hal strategi ini, belum pernah seorang presiden Indonesia menggunakannya. Jika Jokowi memiliki nyali dan didesak oleh rakyat, maka bukan tidak mungkin Ibas dan SBY - setelah Boediono akan mengalami masalah secara hukum.

Jadi, maneuver SBY yang condong ke koalisi permanen untuk kali ini merupakan kesalahan strategi politik penyelamatan diri pasca lengser dari kursi kekuasaan. Posisi Jokowi yang diperkirakan akan menguat - meski pemerintahan minoritas - maka pilihan SBY mendukung koalisi permanen yang bekerja berdasarkan dendam kesumat akibat kekalahan pilpres menjadi pilihan yang salah. Manuver SBY ini bisa menjadi boomerang bagi SBY yang sudah tidak memiliki kekuatan apapun.

Salam bahagia ala saya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline