Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

SBY Singkirkan Prabowo yang Gagal Move On dan Terapkan Politik Text Book

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prabowo tetap tak mengakui Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Prabowo tetap pada pendiriannya: menjungkalkan Jokowi. Sementara itu, publik dibuat bingung akan sikap politik SBY - dan kegigihan Prabowo melawan Jokowi dengan cara apapun - yang tampak zig zag dan membingungkan. Kali ini SBY menyingkirkan Prabowo untuk memimpin koalisi permanen. Sikap politik text book ala SBY itu disebabkan oleh Prabowo yang gagal move on dan gagal memimpin koalisi permanen - juga tentu ancaman Jokowi terhadap SBY dan Prabowo.

Sinyalemen prematur penulis tentang kecondongan SBY mendukung Prabowo terbukti benar. Bahkan SBY menjadi pemimpin koalisi permanen dengan menyingkirkan Prabowo yang terlalu text book. Prabowo lebih militant memercayai teori text book tentang politik. Sementara SBY lebih moderat memahami politik secara text book.

Bagi SBY, politik text book adalah harga mati. Politik adalah kepentingan menyelamatkan kepentingan diri, keluarga, partai, kroni, dan kelompok serta golongan. Untuk itu SBY menempatkan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Ketua Majelis Tinggi, anggota dan sekaligus menempatkan Ibas, Pramono dalam struktur partai. SBY membuang bahkan orang seperti Sys NS yang ikut mendirikan Partai Demokrat. Kenapa? Ya karena SBY percaya politik text book: politik hanya untuk kepentingan diri sendiri yang dikomunikasikan dan dicitrakan untuk kepentingan rakyat yang sesungguhnya hanya untuk diri sendiri dan kelompoknya.

Ciri pemraktekkan politik text book adalah (1) lebih suka membuat wacana daripada bekerja - curhat, ragu-ragu membuat keputusan, (2) pencitraan lebih penting daripada kenyataan - menjaga citra sebaik-baiknya, (3) suka berkelompok dengan kekuatan yang dianggap lebih besar - mendukung Prabowo, (4) menciptakan kartel politik - membangun koalisi besar, (5) mengelola partai seperti perusahaan pribadi - menempatkan diri dan keluarga dalam jantung kekuasan partai, (6) bekerja untuk kepentingan partai - lebih penting partai daripada negara dan rakyat.

Dalam hal politik text book ini, SBY tidak terlalu konservatif namun cukup moderat. SBY melihat partai-partai koalisi sebagai mitra. Bahkan untuk menyenangkan partai koalisi, SBY bisa mengalah. Namun, ketika kepentingan pribadi tersentuh, sikap politik text book akan kembali dipraktekkan. SBY akan membela mati-matian kepentingan pribadinya. Untuk itu, SBY gampang krompomi untuk membantu Ical dalam kasus Lapindo dan negara mengambil alih tanggung jawab dan membayar triliunan rupiah untuk mengganti kerugian rakyat - yang Lapindo Brantas tak kunjung bertanggung jawab. Itu semua praktek politik text book SBY.

Sementara Prabowo sebagai penguasa partai meyakini secara absolut dan ekstrim. Prabowo menganggap seni berpolitik sebagai kepentingan sangat pribadi. Kelompok partai pengikut bagi Prabowo hanyalah pelengkap untuk terpenuhinya tujuan pribadi Prabowo dalam berpartai: kekuasaan absolut - sesuai dengan keyakinan text book-nya. Maka para partai bagi Prabowo hanyalah pengikut. Semua harus tunduk pada kemauan Prabowo. Koalisi permanen adalah milik Prabowo.

Melihat gelagat Prabowo tak memiliki kapasitas dan kapabilitas memimpin koalisi permanen, SBY melangkah mengambil alih koalisi permanen dari Prabowo. Kini, SBY mengambil alih koalisi permanen dari tangan Prabowo. Bukti kemarahan Prabowo adalah Prabowo menolak hadir dalam pertemuan dengan para partai koalisi permanen.

Prabowo sebagai pemercaya praktek politik text book absolut, konservatif dan kolot serta absolut jelas tidak setuju dengan politik text book SBY yang lebih memiliki seni. Bagi Prabowo politik adalah kekuasaan yang harus diambil alih dengan satu strategi: merangsek dan menyerang secara langsung. Serang, serang, dan serang. Publik sebenarnya terheran-heran dengan sikap politik Prabowo yang sangat culun: politik tanpa strategi, politik tanpa seni, politik tanpa taktik, politik blatant yang lurus-lurus yang mudah ditebak arahnya.

Sementara SBY melihatnya sebagai seni memenangkan dan meraih kekuasan dengan kalau perlu set back dan attack. Politik bukan terus-terusan menyerang yang akan menghabiskan energi dan mudah dibaca oleh publik. Dalam hal ini, mayoritas partai lebih dekat ke SBY dibandingkan dengan pendekatan Prabowo yang tetap tak mengakui Jokowi dan akan menjungkalkannya. SBY mengambil alih karena (1) Prabowo gagal untuk move on.

SBY mengambil alih koalisi permanen juga disebabkan oleh faktor kedua (2) yang membuat SBY adalah ancaman ketegasan Jokowi yang akan membuat pengadilan ad hoc HAM dan juga dorongan kuat penegakan hukum dan pemberantasan mafia hukum. Dalam pemraktekkan teori politik text book di atas maka SBY dengan cerdas memilih kekuatan di koalisi permanen. Yang menjadi pertanyaan, tepatkah langkah dan strategi ini dalam menghadapi Jokowi-JK? Tidak.

SBY terjebak dalam teori politik text book. Sementara Jokowi adalah politikus licin yang memiliki instink politik kelas Joko Tingkir. Artinya, banyak akal dan trik di luar keumuman. Salah satu contohnya adalah Jokowi merangkul para jenderal aktif dan menghargai mereka. Kekuatan intelejen, keamanan, kepolisian, lembaga negara akan dicengkeram oleh Jokowi dengan ‘mengorangkan' mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline