Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Jokowi De Javu SBY: Pertarungan Tiga Kekuatan, Rakyat-Media, Jokowi dan DPR/MPR

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Euforia terhadap Jokowi melebihi perkiraan. Hal itu menimbulkan harapan baru dalam pesimisme dan optimism yang mirip era SBY dahulu. Namun, dalam de javu terhadap SBY, Jokowi mencatat sebagai presiden baru yang melebihi Bung Karno dalam hal kedekatan dengan rakyat. Bung Karno juga menjadi sasaran harapan rakyat. SBY yang elitis, tak mampu memenuhi harapan rakyat. Akankah Jokowi senasib dengan Bung Karno atau SBY dalam memimpin Indonesia di tengah tiga kekuatan: rakyat dan media, DPR/MPR dan Jokowi? Mari kita telaah dengan hati gembira ria.

Kepentingan dan harapan publik dan media, Jokowi dan politikus Senayan tidak selalu sama dan bahkan bisa saling silang. Perseteruan antara Jokowi-Prabowo dan para pendukungnya telah mereda. Kecuali beberapa orang politikus yang gagal melupakan masa lalu dan memandang masa depan. Kini, publik menunggu langkah Jokowi menentukan kabinetnya dan DPR melakukan pekerjaannya. Diyakini, kabinet Jokowi diharapkan akan menentukan keberhasilan dan kegagalan Jokowi menjadi nakhoda kapal besar bernama Indonesia.

Harapan rakyat atau publik dan media. Harapan rakyat dan media sangat sederhana. Jokowi mampu membuat kehidupan ekonomi lebih baik dengan kesejahteraan yang meningkat dalam keadilan dan kesempatan bersama. Harga bahan makanan, perumahan dan kesehatan terjangkau. Itu saja. Apa yang bisa dilakukan oleh rakyat dan media agar cita-citanya terpenuhi oleh Jokowi? Tak ada: hanya menunggu dan berbicara. Namun rakyat dan media memiliki kekuatan: people power jika sudah keterlaluan untuk mendongkel Jokowi atau pun DPR/MPR.

Harapan Jokowi. Setelah dilantik, harapan Jokowi adalah mampu memimpin dan melaksanakan janji-janji kampanye. Mampu mengendalikan DPR dan MPR yang memiliki agenda lama - mengritisi dan bahkan menjegal Jokowi. Jokowi menginginkan posisinya aman dan tidak dijegal oleh DPR dan MPR. Banyak yang dapat dilakukan oleh Jokowi sebagai penguasa militer, hukum, dan keamanan serta ekonomi melalui ‘pengaruh' kekuasaan. Itulah kekuatan Jokowi yang nyata dan riil.

Harapan politisi Senayan. Terbelah menjadi dua kubu, kubu Prabowo dan Jokowi, DPR dan MPR diyakini akan mengalami ‘penyesuaian' ketika kompromi politik dan ekonomi ditawarkan kepada para elite partai. Penggembosan yang dilakukan oleh Jokowi terhadap koalisi Prabowo semakin kencang. Setelah PPP maka Golkar dipastikan akan berlabuh ke kubu Jokowi disusul oleh PAN.

Tanda-tanda melemahnya koalisi Prabowo diawali oleh sikap Ical yang menyebut jika ada kader Golkar menjadi menteri Jokowi itu buktinya sebagai penyeimbang: yang baik didukung, yang tak baik dikritisi. Itu sikap mendua yang lentur selepas ‘pertemuan empat mata' Jokowi-Ical yang membicarakan konsesi politik Jokowi kepada Ical terkait persoalan ekonomi dan hukum. Terlebih lagi posisi Setya Novanto

PAN dan Demokrat pun akan mengalami pelemahan seperti Golkar karena posisi Hatta Rajasa, pentolan Demokrat, yang bermasalah secara hukum. Pendekatan kompromi politik-hukum pun diyakini akan meredam kegarangan PAN dan juga Demokrat.

Tinggal di DPR/MPR dua partai yang akan selalu gagal move on setelah ditinggalkan oleh para partai. PKS dan Gerindra diwakili oleh para pentolannya: Fahri Hamzah dan Fadli Zon dengan didukung oleh pentolan partai semacam Hidayat Nur Wahid - yang memiliki dendam pribadi kalah dari Jokowi dua kali. Gagal menang di DKI dan gagal mengusung Prabowo. Politik dendam kesumat ini diyakini ditinggalkan oleh PAN, Golkar dan Demokrat serta PPP karena pertimbangan pemilu 2019. Jika tidak berubah, partai akan kerdil dan dihukum oleh rakyat. Ini berlaku bagi tak hanya partai oposisi. PDIP, NasDem, PKB, Hanura, pun akan mengalami nasib sama jika mengalami kegagalan dalam melayani rakyat.

Di tengah pertarungan politik-hukum dan kekuasaan, kartu diplomasi politik lurus yakni: kejam mengancam dengan bahasa halus Jokowi kepada Prabowo, Ical, SBY dan berbagai kekuatan baik dan buruk akan memerkuat Jokowi dan melemahkan pertarungan di DPR/MPR.

Dengan kabinet kerja yang baik, diyakini Jokowi akan lebih memiliki kekuatan. Sebaliknya jika kabinet kerja Jokowi memble maka kekuatan DPR/MPR akan muncul - meskipun ancaman diplomasi hukum-politik Jokowi terhadap para tokoh partai dilakukan. Kenapa? Para politisi gagal move on di DPR/MPR seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah ditambah Hidayat Nur Wahid akan melancarkan aksi kompornya.

Jika itu terjadi, maka rakyat dan media akan menjadi wasit yang akan menentukan nasib Jokowi, DPR dan DPR yang menjadi ajang pertarungan rakyat. Dan, nasib Jokowi hanya seperti SBY yang gagal membangun Indonesia dalam 10 tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline