[caption id="attachment_369973" align="aligncenter" width="600" caption="Presiden Jokowi/Tribunnews"][/caption]
Sejarah mencatat dengan tinta emas. 28 Oktober 1928 sebagai tonggak kebangkitan nasional kedua pada zaman Hindia Belanda. Tonggak 28 Oktober 1928 menancapkan tekad merebut kemerdekaan dengan semangat nasional. Namun, sejarah para presiden RI, hanya Bung Karno dan eyang saya Presiden Soeharto yang memiliki dan menjalankan roh dan energi Sumpah Pemuda 28. Selain kedua presiden tersebut hanya Gus Dur yang sedikit melanjutkan ideologi perjuangan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia'. Mari kita telaah sejarah dan apakah Jokowi akan mewarisi semangat Sumpah Pemuda dengan hati gembira ria.
M. Yamin menjadi salah satu motor pergerakan. Bung Karno menerjemahkan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia' sebagai roh perjuangan yang mengikat seluruh bangsa yang kemudian disebut Indonesia. Jokowi menjadi presiden termuda Indonesia (53 tahun) setelah Bung Karno (44 tahun). Bung Karno sendiri memercayai bahwa pemuda adalah pilar bangsa.
Konsensus Pemuda 28 yang dimotori M. Yamin diwujudkan dalam tindakan nyata dalam bidang bahasa. Adalah pemuda Sutan Takdir Alisjahbana yang membangun ‘gramatika bahasa Indonesia' kali pertama. Peletak dasar bangunan logika berbahasa Indonesia itu yang menjadikan bahasa Indonesia begitu fleksibel berkembang menyerap berbagai kata asing daerah dan internasional. Bahasa Indonesia melewati batas kemampuan bahasa Malaysia untuk beradaptasi. Dan, bahasa Indonesia menjadi satu-satunya bahasa yang dibuat khusus dan hanya dalam tempo 8 dekade mampu menjadi bahasa pemersatu sesuai dengan imajinasi dan impian Pemuda 28: adanya bahasa nasional yang digunakan dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote.
Inspirasi 28 Oktober 28 menjadi Bung Karno, M. Yamin, Tan Malaka, Bung Hatta, St Sjahrir, dan seluruh pemuda bergerak bahu-membahu mewujudkan Sumpah Pemuda. Dalam 16 tahun (bayangkan masa reformasi sudah berjalan 16 tahun namun tetap tak banyak mengubah keadaan) sejak sumpah pemuda, para pemuda yang bergerak sejak ‘deklarasi untuk merdeka' berhasil merdeka: 17 Agustus 1945. Pencapaian kemerdekaan yang begitu gagah perkasa yang membuat Belanda atau pemerintah Hindia Belanda tak merelakan Indonesia sebagai koloni terbesar Belanda hilang (Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949).
Sejarah revolusi Indonesia 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 1945 menjadi tonggak perjuangan untuk kesejahteraan Indonesia. Namun, sejarah mencatat Bung Karno dan eyang saya Presiden Soeharto yang mampu menancapkan sejarah perubahan Indonesia.
Bung Karno menjadi peletak dasar ‘rasa nasionalisme' Indonesia yang menjadi modal tereratnya seluruh bangsa-bangsa dengan ribuan bahasa di Nusantara menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.
Lalu eyang saya Presiden Soeharto menancapkan kuku ‘pembangunan Indonesia' yang melahirkan ‘baby boomers' ala Indonesia yang lebih hedonis - atau sufis dan ekstrim - yang memiliki ‘rasa nasionalisme' yang menipis.
Para presiden lain selain Presiden ke-4 Gus Dur - yang memperkenalkan wujud bangsa dan negara yang menghargai rakyat yang plural dengan menghargai kehidupan beragama sehingga Konghucu menjadi agama resmi yang diakui oleh satu-satunya negara di dunia - hanya menjadi presiden lanjutan konsep nasionalisme Bung Karno dan imajinasi keberhasilan ‘pembangunan' ala eyang saya Presiden Soeharto. Hasilnya? Tak satu pun baik Presiden ke-3 Habibie, Presiden ke-5 Megawati, dan Presiden ke-6 Yudhoyono memberikan hasil kerja yang spektakuler sekelas Bung Karno dan eyang saya Presiden Soeharto.
Penyebab terbesar kegagalan membangun Indonesia menjadi berjaya dari presiden ke-3 sampai ke-6 adalah mereka tidak memiliki roh perjuangan idealisme Sumpah Pemuda dan semangat Proklamasi 1945 yang heroik. Roh perjuangan telah hilang dan digantikan oleh roh ‘kesejahteraan dan kenikmatan hidup' ala ‘baby boomers' Indonesia pada zaman Orde Baru yang hedonis - yang menyebabkan polarisasi konsep kehidupan: antara hidup hedonis atau menjadi ‘sufis'.
Pada zaman Orde Baru ini kegelisahan ideologi kehidupan antara larut dalam pembangunan dan hedonis atau menyepi dalam sufisme kesederhanaan. Kedua pertarungan ini melahirkan bangsa yang apatis terhadap bangsa. Yang satu ‘terlalu menikmati hidup' dan yang satunya: menjadi ekstrimis pelaku agama yang melahirkan militansi.