Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Jokowi, Nilai Mistis Kebo Bule, Ratu Hemas, Grace Kelly, dan Pecahnya DPD RI

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi naik menjadi Presiden RI. GKR Hemas mendukung Koalisi Prabowo di MPR. Kyai Bodong mati karena ditombak. Dunia mistis Jawa dan peradaban Jawa meradang. Tak pelak banyak yang terkejut. Baru kali ini ada tangan jahil menombak pusaka kerajaan: kebo bule keturunan Kyai Slamet. Tanda-tanda alam matinya Kyai Bodong, maneuver Ratu Hemas dan pecahnya DPD sebagai penyeimbang di MPR, memiliki kisah sama dengan Grace Kelly yang menikah dengan Raja Monako. Peristiwa pernikahan, hilangnya simbol kerajaan dan pusaka, dan kematian tragis menjadi rangkaian meredupnya gemerlap kerajaan baik di Jogjakarta maupun di Monako. Bagaimana nilai sosiologis-mistis naiknya Jokowi dan matinya Kyai Bodong - kerbau bule keturunan Kyai Slamet yang fenomenal itu - sepak terjang Ratu Hemas yang memengaruhi Keraton Jogjakarta dan pernikahan Kerajaan Monako dalam konstelasi politik di DPD RI menurut ulasan Ki Sabdopanditoratu?

Tingkah-polah politik dua kaki Ratu Hemas di MPR dan sepak terjang Raja Monako rupanya merupakan takdir suratan yang tak terpisahkan dengan peristiwa di belakang layar: kondisi kerajaan Jogjakarta dan Monako.

Memang, bibit, bebet, bobot, dan pendidikan perlu. Jika seseorang yang tidak semestinya berada di lingkungan yang tidak tepat secara sosiologis dan kultural, maka akan menimbulkan masalah secara mistis. Kebudayaan kontemporer Jawa dipengaruhi oleh empat kebudayaan dasar: local jenius Jawa purba, India, Arab dan China.

Awal mula terbentuknya Kerajaan Mataram adalah munculnya kekuatan peradaban baru: Arab-China-Majapahit dengan berdirinya Kerajaan Demak. Dengan intrik politik, Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjalu dan arsitek strategi politik Ki Juru Mertani menjadikan Pajang sebagai perantara terbentuknya Kerajaan Mataram sampai sekarang dengan hanya Jogjakarta yang menyisakan ‘sisa sedikit kebesarannya'. Sementara Surakarta (dengan Kasunanan dan Mangkunegaran) sudah nyungsep hanya menjadi hiasan sejarah dan museum hidup tanpa kekuasaan.

Salah satu simbol terpenting kehidupan adalah pernikahan. Bibit, bebet, bobot dan pendidikan (baca: kesaktian hasil latihan dan belajar) menjadi acuan. Pelanggaran kalangan kerajaan sebagai simbol peradaban dan pemeliharaan pusaka budaya yang terlalu banyak dilakukan akan menjadikan kelemahan bagi kerajaan.

Sejarah panjang Kerajaan Monako memiliki tradisi hebat pernikahan antar darah biru Eropa. Kejayaan terbentuk dengan kemakmuran. Salah satu upaya meningkatkan ketenaran Monako sebagai kota judi adalah memberi gambaran gemerlap. Maka menikahlah Pangeran Monako dengan selibritas dan bintang film terkenal: Grace Kelly. Akibatnya? Bukan kejayaan yang didapat: meredupnya pamor Monako sebagai kota judi dan tragedi kehidupan yang menimpa keluarga Kerajaan Monako, dengan kematian tragis Grace Kelly sendiri yang misterius.

Anak-anak keturunan pernikahan Raja Monako dengan orang kebanyakan Grace Kelly pun menjadikan mereka menjadi: seperti orang kebanyakan dengan sifat dan tingkah polah orang kebanyakan yang jauh dari sikap aristokrat kebanyakan Eropa yang membanggakan.

Kisah serupa terjadi di Mataram - baik Jogja maupun Solo. Percampuran darah biru (baca: penciptaan citra ningrat yang sebenarnya hanya dari kalangan petani pendiri Kerajaan Pajang dan Mataram) yang selalu dirintis sejak zaman Pajang, dengan mengambil sisa-sisa keturunan para Raja Singasari dan Majapahit, pada kurun waktu Kerajaan Surakarta dan Jogjakarta banyak dilanggar.

Para raja Solo dan Jogja yang memiliki puluhan selir - yang justru diambil dari kalangan rakyat jelata - menimbulkan keturunan yang berbeda tingkat darahnya. Sikap, laku, sifat dasar ‘ningrat yang diciptakan' tergerus oleh ‘darah baru orang kebanyakan dan jelata'. Bahkan mulailah raja dan putra mahkota diangkat dari keturunan selir: akibat raja tak mengangkat putra mahkota.

Maka para raja hasil pernikahan dengan selir pun kehilangan mistisismenya. Roh keagungan, kehormatan mistis, kewibawaan agung, dan kebesaran raja dan keturunan raja tergerus. Datangnya pengaruh luar - Belanda dan kebudayaan kontemporer luar - pun menggoda para raja yang berdarah ‘biasa' atau keturunan ‘rakyat biasa' mau menggadaikan kerajaan untuk demi keselamatan diri. Maka Solo pun takluk dan menghapus ‘kedaulatan dan memeluk Belanda'. Kebudayaan dan tradisi pernikahan pun menjadi ‘pluralis' dan bisa mengambil ‘siapa saja tanpa melihat bibit, bebet, dan bobot'. Hasilnya sungguh mencengangkan.

Kerajaan Solo (Kasunanan dan Mangkunegaran) gagal menjadi pusaka kebudayaan karena takluk di bawah Belanda. Kisruh selalu menyelimuti dan kembali sejarah sebagai ‘kerajaan konflik Pajang' pada masa sebelum terbentuk Mataram sampai sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline