Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Dari JFK, Gandhi Coba Pahami Nurul Arifin dan Amien Rais dari Sisi Psikologi Politik

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari kasus besar pembunuhan John F Kennedy, dan Gandhi menarik mengamati perilaku Nurul Arifin dan Amien Rais dari sisi psikologi politik dan sosial. Nurul Arifin sebagai mantan bintang film yang sangat sensual dan seksi dan Amien Rais sebagai mantan Ketua MPR dan politikus licin tampil akhir-akhir ini dengan penuh kontroversinya masing-masing. Nurul terkenal dengan pernyataan-pernyataan hebat penuh hentakan kekuatan kata menghunjam ke jantung: penuh kontroversi. Amien Rais pun menyodorkan pernyataan yang lain yang tak kalah hebat. Bagaimana karakter Nurul dan Amien Rais dari sisi psikologi politik dan sosial bisa memahami perilaku, polah dan tingkah Nurul dan Amien? Mari kita telaah dengan hati gembira ria.

Nurul Arifin adalah mantan bintang. Bintang memiliki sifat suka dengan spotlight. Suka dengan sorotan. Suka dengan kontroversi. Sebagai bintang untuk mendapatkan popularitas, modal kecantikan, keindahan, kemolekan, dan sedikit otak - di Indonesia modal kecerdasan untuk bintang film dan model kurang dihitung dan lebih banyak memertimbangkan kemenarikan fisik - menjadi penentu.

Bintang suka menarik perhatian. Nurul pernah menguasai seluruh kekuasaan sebagai bintang gemerlap. Di situ kehormatan, kekayaan, uang, kebanggan, ketenaran, dan kehidupan plastis dan semu seolah nyata tercipta yang memabukkan: menjadi bintang.

Rasa menjadi pusat perhatian menjadi kebanggan yang tak terperi. Rasa sebagai manusia terpilih pun menyeruak di dalam dada, hati rasa dan body namun sering kurang di intelejensia - hingga banyak sekali mantan bintang film dan pesohor hanya menjadi beban di masa tua akibat salah konsep dalam memaknai ketenaran. Ketenaran dianggap abadi dan tak lekang.

Sama dengan perasaan modal modal kecantikan, keindahan, kemolekan, dan sedikit kecerdasan dianggap mampu memertahankan pusat perhatian yang didewa-dewikan: dipuja dan dinikmati. Namun, senyatanya, tubuh mengalami renta - dan hanya bintang film yang memiliki karakter dan modal intelejensia tinggi akan bertahan menjadi bintang sampai tua dan akhir hayat - dan seorang bintang redup dan meledak menjadi bintang supernova dan redup tak bersinar. Istilahnya: tak laku dan pensiun.

Amien Rais. Dunia politik memiliki kesamaan. Memabukkan. Seperti Nurul Arifin di film, Amien Rais pun mengalami hal yang sama. Kekuasaan memabukkan dan acuan hidup tertinggi. Jika berkuasa - dan dengan kekuasaan - misalnya menjadi anggota DPR, dan pejabat publik, menteri, bahkan presiden, maka politikus menjadi pusat perhatin. Tampil di televisi, diluput koran, menjadi nara sumber, dikutip wartawan, adalah kenikmatan tiada tara. Rasa narsis dan bangga muncul di depan umum, dengan pengawalan dan rasa sebagai manusia terpilih menyeruak dalam jiwa.

Mulailah politikus menginginkan keabadian kekuasaan dan kehormatan tak bergeser: kenikmatan sebagai pejabat publik berusaha dipertahankan dalam kekuasaan abadi. Pengabdian, pengorbanan apapun akan dilakukan demi kekuasaan.

Maka, politikus dari zaman apapun akan melakukan apapun untuk memertahankan kekuasaan itu. Bagi politikus, rakyat dan negara bukanlah hal yang penting untuk dibela. Politikus selalu membungkus demi rakyat, demi bangsa, demi negara, demi konstitusi dalam berbicara dan mengeluarkan pernyataan.

Dalam politik, menghujat, memfitnah, menghina, adalah hal yang biasa. Pembunuhan karakter, kampanye hitam, penipuan, pencitraan bahkan pembunuhan adalah hal yang dihalalkan dalam jiwa mereka. Politikus akan melakukan pembunuhan dengan berbagai cara dan konspirasi. Kasus pembunuhan terhadap Hitler, John F Kennedy, Abdullah Abdullah, Anwar Sadat, Yitzhak Rabin, Indira Gandhi, Mahatma Gandhi, Baharuddin Lopa adalah contoh politikus yang dibunuh. Pembunuhan karakter terjadi pada banyak pemimpin: seperti Anwar Ibrahim menjadi contoh. Betapa politik adalah ladang kebaikan dan kejahatan yang menyatu dalam nama dan atas nama: rakyat.

Namun sesungguhnya, dalam psikologi politik dan sosial, rakyat hanyalah sebagai alasan pembenaran dan kelabuan bagi intensi kekuasaan untuk diri sendiri dan partai serta golongan. Kenapa? Karena kekuasaan begitu memabukkan dan menjadi hal yang paling dinikmati oleh politikus.

Dalam dunia politik juga banyak yang jujur memerankan diri sebagai bad boys dan bad gilrs. Bagi yang meyakini pendekatan politik seperti ini segala hal akan dilakukan: baik dan buruk. Benar dan salah. Halal dan haram. Patut dan tak patut. Moral dan amoral. Semua blur menjadi abu-abu dan tak penting. Politikus macam begini akan menganggapnya sebagai strategi dan taktik politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline