Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Remehkan Jokowi, Akar SBY dan Prabowo Bangun Koalisi Ilusif-Delusif

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SBY dan Prabowo gagal melakukan ijtihad politik. Mereka tenggelam ke dalam pusaran anomali politik aneh. Sudah anomali, aneh pula. SBY menyebut oposisi sebagai penyeimbang pada awalnya. Sedangkan Prabowo dinobatkan menjadi Putra Mahkota koalisi Prabowo untuk menggantikan Jokowi. (Terungkap awalnya selain pernyataan Hashim Djojohadikusumo juga lewat deklarasi Koalisi Prabowo di Jogjakarta). Upaya menggalang kekuatan itu dilakukan dengan merebut seluruh pimpinan DPR dan MPR - sisanya alat kelengkapan dewan koalisi Jokowi hanya diberikan 21 posisi dari 69 posisi - dengan tak satu pun posisi ketua di DPR dan MPR. Apa latar belakang SBY dan Prabowo melakukan kesepakatan tersebut bersama partai-partai lainnya sampai membangun koalisi delusive-ilusif megalomania bernama koalisi Prabowo? Mari kita simak dengan hati gembira riang sentosa bahagia ria.

SBY sejak awal menerapkan strategi politik dua kaki. Mendukung Prabowo namun takut kalah, maka SBY membiarkan Ruhut Sitompul dan H Sarundajang mendukung Jokowi. Latar belakang sikap ini selain sikap SBY yang plin-plan, seperti dua hari lalu seusai bertemu Jokowi bercerita akan merapat ke koalisi Jokowi, karena kemarin Ical mendukung Perppu, maka SBY menyatakan tidak di koalisi Prabowo atau koalisi Jokowi. Itu dari sifat kepribadiannya yang suka mencla-mencle, tidak tegas, penuh tipu daya, dan culas sehingga mendapat julukan pengkhianat demokrasi. Bahkan disebutkan inisiator Pilkada DPRD adalah SBY sendiri - SBY berniat menggorok demokrasi dengan meminjam banyak tangan yang tengah sakit hati akibat pilpres.

Tak salah jika Jokowi menanggapi pernyataan SBY terkait Perppu berhati-hati dan mengatakan lihat saja nanti pada bulan Januari 2015: artinya Jokowi tidak memercayai SBY sampai SBY benar-benar berbuat. Bagi Jokowi dan PDIP memercayai SBY sama dengan memercayai uap air yang belum jelas akan menjadi air hujan atau menguap hilang ditelan panas.

Lalu apa alasan SBY melakukan aliansi bergabung dengan koalisi Prabowo dan membuat kesepakatan bahkan membangun koalisi permanen?

Pertama, SBY dan kekuarganya termasuk besannya memiliki masalah hukum. SBY dikaitkan dengan Century dan Ibas dikaitkan dengan Hambalang. Sementara Hatta Rajasa dikaitkan dengan kereta bekas Jepang dan diduga tahu banyak terkait mafia migas karena kedekatannya dengan Riza Chalid dan menteri ESDM dan Kepala SKK Migas. Dengan bergabung menjadi satu kekuatan - yang oleh mereka sendiri disebut kekuatan penyeimbang - yang sejatinya digunakan sebagai alat tawar menawar dan bargaining position.

Kedua, SBY terlarut dalam euphoria kemenangan UU MD3 yang dianggap akan menjadi alat untuk menjatuhkan Jokowi. Jokowi akan mampu dengan mudah dikeroyok dengan ratusan interpelasi. Konsep dasar berpikir SBY dan koalisi Prabowo adalah WTS alias waton suloyo: asal berbeda.

Nah, test case pertama adalah kenaikan harga BBM - yang SBY simpan sebagai amunisi untuk interpelasi pertama. Maka begitu harga BBM naik, SBY berteriak. Fadli Zon berkicau. Fahri Hamzah, Ical dan sebagainya langsung mengajukan hak interpelasi. Tak kalah nyaring bunyinya si culun politik Ibas berteriak-teriak tak karuan. Kondisi ini sempat dilihat sebagai penolakan masyarakat terhadap kenaikan BBM. Effendi Simbolon dan Rieke terpengaruh dan mengecam Jokowi. Mereka terhanyut dalam riak politik berdasarkan konsep WTS alias waton suloyo alias asal berbeda. Hasilnya? Masyarakat adem dan tak melakukan demonstrasi besar-besaran. Yang ribet cuma di DPR. Kenapa? Karena koalisi Prabowo tengah melakukan political exercise dan political execution berdasarkan rencana awal yakni akan melakukan pemakzulan terhadap Jokowi dengan melakukan kesepakatan jahat antar partai.

Fakta rencana pemakzulan itu diteriakkan oleh pendukung koalisi Prabowo ketika membentuk koalisi Prabowo di Jogjakarta. Selain itu lebih jelas lagi muncul dalam pernyataan Nurdin Halid dan Aziz Syamsuddin terkait Pilkad DPRD. Sikap itu lebih tegas lagi dengan munculnya fenomena DPR/D menolak memasang foto Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Penyebabnya adalah mereka masih diliputi oleh kekuasaan ilusif dan delusive bahwa presiden koalisi Prabowo adalah Prabowo yang digadang-gadang sebagai putra mahkota ketika nanti Jokowi dimakzulkan. Yang aneh pula adalah kok nggak sadar orang seperti Ical, Amien Rais, SBY, Anis Matta bahwa Prabowo itu tak memiliki kekuatan apa-apa alias kosong melompong.

Hal ini terungkap melalui (1) perebutan seluruh pimpinan DPR dan MPR, (2) akan membangun koalisi Prabowo model di DPR ke DPRD I dan II seluruh Indonesia, (3) merebut seluruh kepala daerah dengan UU Pilkada DPRD seperti dirancang oleh SBY, Ical dan Prabowo beserta koalisi partai pendukung Prabowo.

Tujuan dari semua ini selain bargaining position secara politik juga dijadikan alat tawar kepada Jokowi untuk kompromi politik-hukum dan hukum-politik agar didapatkan win-win solution yakni: Jokowi tetap menjadi presiden namun SBY, Prabowo, Ibas, Suryadharma Ali, Hatta Rajasa dan berbagai kalangan anggota DPR lolos dari belitan hukum. Hasilnya?

Jokowi tetap berjalan dengan 5 strategi politiknya menghadapi koalisi Prabowo. Hasilnya koalisi Prabowo pecah. Apa penyebabnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline