Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Faktor Susi, Abraham Samad, TNI, dan Polri dalam Pembusukan Pemerintahan Jokowi

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Abraham Samad berteriak mendukung Susi, sekaligus mengritisi TNI, Kejaksaan Agung dan Polri. Faktor Susi Pudjiastuti menghentak kemapanan TNI AL dan Kejaksaan Agung. Juga bisnis-bisnis illegal yang menguntungkan berbagai oknum di lapangan TNI dan Polri, Pertamina dengan mafia illegal fishing. Mari kita cermati sikap TNI dan Polri, faktor Susi serta strategi Jokowi menghadapi politik di TNI dan Polri serta keterlibatan koalisi Prabowo dalam pembusukan pemerintahan Jokowi dengan hati gembira ria bahagia senang sentosa beralibi lupa log-out pula.

TNI dan Polri adalah kekuatan nyata di dalam politik dan kehidupan nyata: operasi territorial. Jokowi adalah simbol sebagai Panglima Tertinggi TNI. Karena Jokowi bukan tentara atau dari kalangan sipi, maka tampaknya ada kesalahan pikir bahwa Presiden Jokowi sebagai presiden, bukan sebagai TNI. Ini kesalahan pikir yang harus diluruskan. Tekanan Jokowi terhadap TNI dan Polri berbeda dengan ketika Gus Dur dan Megawati memerlakukan TNI dan Polri.

TNI dan Polri diperlakukan dengan sangat hati-hati oleh Presiden Jokowi. Konsep penguatan maritim alias kelautan sebagai konsep dasar ketahanan dan pertahanan nasional harus dilakukan dengan hati-hati. Selama ini matra TNI adalah berfokus ke darat, meskipun 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan dan perbatasan laut dengan negara tetangga meliputi lebih dari 95% wilayah. Perbatasan darat hanya dengan negara boneka Inggris, Malaysia dan negara protektorat Australia tanpa kepala negara Papua Nugini, dan bekas provinsi renegade Timor Leste.

Kekuatan TNI Angkatan Darat ini membuat hegemoni TNI AD dan menempatkan TNI AL, TNI AU seolah sebagai subordinasi TNI AD. Maka penguasaan maritim pun meskipun yang menjadi penguasa nyata TNI AL, namun dalam hal pengaruh dikendalikan oleh TNI AD dengan patron-nya yang sudah dikuasai adalah presiden.

Orang paling lemah yang dikuasai adalah SBY - orang ini tidak membela territorial wilayah NKRI sama sekali dan tidak memerhatikan sektor kelautan. Presiden Mega dan Presiden Gus Dur gagal menguasai TNI dan bahkan terjungkal dari politik akibat kegagalan mengelola kepentingan ekonomi dan penguasaan territorial - dan potensi ekonomi legal dan illegal - yang dibiarkan bersimbiosis mutualisme dengan patronisme TNI AD terhadap TNI AL.

Munculnya Susi Pudjiastuti menggebrak kematangan dan kenyamanan operasi illegal fishing. Sudah sangat jelas illegal fishing dilindungi oleh mafia dengan berbagai dalih ketidakmampuan operasional. Endusan pengaruh mafia illegal fishing seperti (1) kapal dan boat Satpol dan Polisi air dan laut tidak beroperasi, (2) kapal patrol TNI AL dan Polri tidak beroperasi maksimal dengan alasan rusak atau tidak ada bahan bakar, (3) kapasitas jelajah dan kapal TNI AL dan Polri kalah cepat dan kalah canggih dibandingkan dengan kapal pencuri ikan.

Dalam hal penegakan hukum terkait illegal fishing, selain TNI AL dan Polri, Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi, merupakan para pemain garda depan terkait keamanan, ketertiban dan pengelolaan sumber daya kelautan. Di lautlah sebenar-benarnya pintu kehancuran ketahanan NKRI. Sebut saja illegal fishing, penyelundupan manusia perahu, illegal logging, narkoba, mafia migas, perdagangan pasir laut yang membuat Singapura memiliki daratan 20% lebih luas dan luas territorial laut sebesar 45% lebih luas karena reklamasi pulau dari pasir Indonesia. Semua persoalan itu melibatkan TNI AL, kejaksaan dan kepolisian. Yang mencengangkan adalah fakta para mafia menggunakan para oknom TNI AL dan Polri untuk menjadi kasir seperti kasus Labora Sitorus di Papua dan oknum TNI AL terkait kasus mafia migas dengan pentolan KH Fuad Amin Imron.

Abraham Samad memahami persoalan di atas dengan jernih dan meneriaki TNI, Kejaksaan dan Polri. Yang paling kentara adalah gebrakan Susi Pudjiastuti menghentak kemapanan (1) membiarkan kekayaan dijarah dengan keterlibatan oknum-oknum keamanan dan hukum, (2) membiarkan tindak kejahatan di laut terkait pencurian pasir, penyelundupan narkoba, manusia perahu, dan sebagainya, (3) kejaksaan agung dan kejaksaan tinggi tidak menindaklanjuti penangkapan kapal illegal asing terkait pencurian ikan dan bermain mata dengan kalangan mafi di laut yang rumit.

Kini, Presiden Jokowi tengah menghadapi strategi ‘menolak perubahan' dari internal koalisi dan pemerintahan Jokowi. Kepentingan di dalam TNI, TNI AL, Polri dan kejaksaan sedang dihadapkan antara tunduk kepada mafia hukum, mafia narkoba, dan mafia illegal fishing, atau tunduk pada perintah Presiden Jokowi. Mengikuti arahan Abraham Samad, tuntutan ketegasan Susi, dan kepentingan negara yang dibela Presiden Jokowi , jelas akan mengubah kue kepentingan ekonomi. Maka resistensi itu dibangun. Bagaimana Presiden Jokowi menghadapi resistensi tersebut?

Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI akan melakukan langkah strategis berupa (1) menunjuk Tedjo Edhy Purdijatno yang berlatar belakang pengalaman di TNI AU, operasional di laut , dan pernah menjadi Kepala Staf Umum TNI. Dengan penunjukan ini diharapkan Tedjo mampu meredam hegemoni TNI AD dalam keseluruhan sepak-terjang TNI AL, TNI AD, dan TNI AU dengan segala potensi godaan ekonominya.

Lalu (2) Jokowi melakukan sinergi manajemen dan memberikan kesempatan kepada Panglima TNI dan Kepala Polri untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam rangka penguatan ketahanan NKRI di laut. Seturusnya, (3) penundaan pergantian Panglima TNI, Kepala BIN, dan Kepala Polri adalah dalam rangka melakukan tugas lebih cepat dan memetakan persoalan dan tantangan di bidang kemaritiman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline