Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Sisi Psikologi Tedjo, Fadli Zon, IQ Presiden Ulysses S Grant dan Rakyat Nggak Jelas dan Kayak Buruh

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik mengamati sisi psikologi Tedjo - yang serupa dengan Fadli Zon. Setelah Tedjo menyatakan bahwa pendukung KPK adalah ‘rakyat nggak jelas', kini Tedjo kembali menyampaikan bahwa karyawan KPK adalah ‘kayak buruh' - karena akan mengembalikan mandat kepada Presiden Jokowi. Mari kita telaah sisi psikologi Tedjo dan Fadli Zon dan IQ mereka yang melebihi Presiden Ulysses S Grant dengan hati gembira riang sentosa sepanjang masa bahagia ria.

Sisi psikologi Menteri Tedjo memang mirip dengan Fadli Zon. Namun, Tedjo tetap fenomenal. Bahkan Tedjo memang sefenomenal Susi Pudjiastuti. Bedanya, Tedjo ahli strategi memberikan pernyataan bernada miring; sementara Susi ahli strategi manajemen yang handal.

Fenomena pernyataan Tedjo justru sekelas dan mirip dengan pernyataan-pernyataan Fadli Zon yang profane jauh dari essesnsial. Setelah pernyataan Tedjo tentang ‘rakyat nggak jelas', kini bertambah menjadi karyawan KPK ‘kayak buruh saja'.

Dua pernyataan Tedjo itu memiliki makna secara psikologis bahwa para pendukung KPK dan para karyawan KPK dianggap berkasta rendah: buruh. Anggapan dan asumsi asimetris paralel ‘rakyat nggak jelas' dan ‘kayak buruh' menunjukkan pola pikir Tedjo yang unik: khas intelejensia Tedjo.

Dalam pemahaman Tedjo, rakyat terbagi menjadi beberapa golongan. Secara psikologis ada rakyat yang jelas - meminjam analogi terbalik adanya ‘rakyat tak jelas'. Rakyat yang tak jelas adalah pendukung KPK, yang jelas adalah lingkaran Tedjo dan pendukung Polri sesuai kepentingan Tedjo, dalam memberikan pernyataan.

Pemahaman Tedjo lainnya adalah ‘kayak buruh' dalam pikiran dan intelejensia Tedjo: buruh adalah kasta rendah. Buruh dianggap kelompok marjinal di luar lingkungan gemerlap kalangan Tedjo yang menteri dan ‘pejabat Istana Presiden' yang mentereng: menteri. Ya. Menteri bukanlah buruh; ‘kayak anggota kerajaan dan kalangan abdi Istana Kepresidenan'.

Pola pikir feudal Tedjo - yang lahir dan besar dengan indoktrinasi ala militer yang standard - menghasilkan pemahaman yang merendahkan kalangan buruh. Memang sejarah buruh adalah sejarah perbudakan. Buruh adalah kalangan kasta paling rendah di atas pengemis menurut pemahaman perbudakan. Sejarah pembayaran upah menunjukkan kata ‘pay day' bukan ‘payment day' menunjukkan sejarah betapa buruh adalah kelompok para orang yang berada di bawah kekuasaan majikan.

Pemahaman Tedjo yang sangat luas bak samudera Hindia, Pasifik, dan Atlatik menjadi satu dalam hal sejarah perburuhan dan feodalisme, mendorong Tedjo dengan tepat menyebut ‘rakyat tak jelas' dan kini, dengan asumsi psikologis di dalam kepala Tedjo menyebut karyawan KPK sebagai ‘kayak buruh'.

Yang sebenarnya, jika Tedjo mengatakan para karyawan KPK sebagai ‘buruh', itu tepat. Memang mereka adalah para buruh yang bekerja di bidang pemberantasan korupsi. Sama dengan Tedjo yang menjadi ‘buruh istana' dan mengabdi kepada Presiden Jokowi - alias pembantu Presiden. Karena Tedjo nempel dengan presiden maka banggalah dia disebut pembantu presiden. Analogi ‘pembantu' dan ‘buruh' di dalam kepala Tedjo berbeda tergantung tautan atributnya. Pembantu rumah tangga biasa secara jelas berbeda dengan pembantu Presiden Republik Indonesia.

Maka, akibat pemahaman double standard antara kata ‘pembantu presiden' yang dianggap berkasta tinggi karena ada atribut presiden dan ‘buruh KPK' karena hanya mengurusi para koruptor, maka status kayak buruh - bahkan dianggap buruh pun tidak, walaupun sebenarnya memang buruh, adalah gambaran kondisi psikologis Tedjo yang tak mampu membedakan antara pernyataan profane dan esensial; antara pernyataan untuk comfort dan confrontation. Akibat ketidakmampuan membedakannya maka secara praktis - karena selama ini hanya berpikir ‘Yes, Sir!', dan samikna waatokna, lu bilang gue jalankan - maka ketika terjadi kemelut di dalam pikiran, kekalutan itu secara serampangan dikembalikan dalam bentuk serangan. Kenapa?

Dalam militer, salah satu pertahanan terbaik adalah melakukan serangan: baik reaction, retaliation, preemptive attact, bahkan premature attack. Teori-teori seperti inilah yang memicu impuls psikologi Tedjo bergerak mengeluarkan pernyataan tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline