Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Tragedi Siloam: dari dr Ayu, Obat Palsu, Harga Nyawa, sampai Diksi Hospital

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah dr. Ayu. Kini Siloam. Hospital. Publik jadi ingat kasus dr. Ayu di Manado. Tragedi kesalahan pemberian obat anestasi yang membuat pasien tewas sungguh menyentak nurani. Kejadian itu sungguh memrihatinkan. Belum hilang ingatan kasus dr. Ayu di Manado yang dimenangkannya. Kini muncul kejadian yang lebih menakutkan lagi bagi pasien: kesalahan isi ampul obat. Serasa harga nyawa tidak diperhatikan oleh PT Kalbe Farma, pembuat obat. Siloam pun tak dapat disalahkan sepenuhnya karena kesalahan ada pada pengemasan ampul obat anestasi Buvanest. Mari kita tengok carut-marut dunia kesehatan dan banyaknya peredaran obat palsu, harga sebuah nyawa, dan diksi kata rumah sakit menjadi hospital dengan hati sedih sedu sedan pilu tak terperi.

Bagaimana mungkin ikhtiar agar sehat menjadi tragedy: kematian. Dari sakit diupayakan untuk sehat. Yang ditemui dan didapatkan justru kematian. Seperti tragedi dr. Ayu, lagi-lagi pasien hanyalah seonggok korban tak berdaya dari kedigdayaan dan kejayaan dan kehebatan dokter dan paramedis. Kini, lebih parah. Rezim kesehatan yang karut-marut itu ditambah lagi dengan industri obat yang tidak disiplin. Kesalahan memasukkan bahan obat dalam ampul anestasi Buvanest menjadi alibi atau keterangan bagi meninggalnya pasien.

Kesalahan pengemasan obat tak bisa ditolerir. Jika memang terjadi peredaran dan kesalahan pengemasan, sungguh aneh hanya terjadi di Siloam. Mungkin distribusi peredaran belum merata. Namun, jika ditilik dari cara pengemasan obat, maka cuma jatuh dua pasien tewas, sungguh amat melegakan. Artinya, kemungkinan kesalahan pengemasan Bunavest hanya pada dua pasien yang tewas itu. Kemungkinan lainnya adalah kesalahan prosedur pengemasan di pabrik Kalbe Farma. Kesalahan prosedur yang menyebabkan meninggalnya pasien adalah kejahatan. Meskipun berpindah tanggung jawab dari Siloam ke PT Kalbe Farma, kasus tewasnya pasien tak boleh dibiarkan.

Publik juga tidak tahu tentang obat. Publik memercayakan keahlian soal obat kepada dokter dan apoteker. Bahkan publik tidak tahu obat bener dan obat palsu. Obat generic dan obat patent. Obat herbal dan non herbal yang para dokter kini ikut merambah bisnis setengah penjual obat yang tidak begitu ilmiah dan dipenuhi slogan sehat. Publik juga tidak tahu obat kedaluarsa dan obat yang dikemas ulang dalam balutan bernama obat palsu, atau jamu palsu, atau herbal palsu.

Di tengah publik yang pasrah kepada malaikat bernama dokter - artinya pasien 100% percaya kepada keahlian dokter dan paramedis - peredaran obat palsu dan pengemasan ulang obat kedaluarsa marak. Bahkan banyak ditemukan obat-obatan dan jamu-jamuan palsu di masyarakat. Sikap pasrah itu tidak dibarengi dengan penghargaan terhadap nyawa manusia.

Di rumah sakit, nyawa digantungkan kepada Tuhan, bukan kepada paramedic dan dokter: katanya mereka manusia biasa, bukan malaikat. Maka, betapa lemahnya pasien di mata dunia kesehatan menjadi korban kebesaran dokter dan paramedis yang melabeli diri bukan malaikat: maka malpraktik dinyatakan hampir tak terjadi. Dalam kasus dr. Ayu pun, pasien tewas kalah dan bukan karena malpraktik! Karena takdir dengan alasan dokter bukan malaikat.

Publik pun mengamini. Bangsa ini terkenal dengan slogan: takdir. Pemercaya takdir. Maka menjadi enak sekali dokter dan paramedic menjalankan profesi mereka. Kalau berhasil ya syukur. Gagal. Takdir. Maka kasus demi kasus terjadi membuat dunia kesehatan Indonesia meradang. Tak mengherankan banyak pasien kaya pergi ke luar negeri seperti Singapura hanya untuk operasi minor. Kenapa? Ya karena di Indonesia muncul kejadian seperti kesalahan mengemas ampul obat anestasi: ujungnya kematian. Para orang kaya tentu berpikir keras - sementara si miskin pasrah pada takdir - untuk memilih keyakinan lebih dengan berobat ke luar negeri, di negara maju.

Di tengah ketakutan para orang kaya, rumah sakit mahal memiliki kiat menggunakan diksi berbeda. Untuk menunjukkan diri mahal, para rumah sakit menggunakan kata hospital bagi rumah sakit di Indonesia. Kata hospital dianggap jaminan mutu. Sedangkan kata rumah sakit dianggap kurang keren. Maka penggunaan kata hospital marak di Indonesia hanya sebagai alat penunjuk gengsi dan mahal!

Sikap gaya-gayaan banyak rumah sakit yang menolak memakai penyebutan rumah sakit sungguh menggelikan. Maksud pembedaan itu adalah untuk membuat perbedaan kasta antara ‘Rumah Sakit' dan ‘Hospital'. Ada-ada saja kelakuan rumah sakit - atau memang mereka sakit ketika bertemu dengan kata-kata bahasa Indonesia? Padahal hospital tak memberikan jaminan apa-apa. Hanya gaya-gayaan semata untuk mengelabuhi pemerintah dan publik yang suka dengan kata-kata asing: international, kini berubah menjadi hospital.

Maka, kasus Bunavest-Siloam sekali lagi membuka aib dunia kedokteran dan kesehatan di Indonesia. Nyawa pasien hanyalah urusan takdir di mata paramedis, dokter, dan kini tukang obat alias pabrik obat. Di tengah kondisi itu, publik yang telanjur kurang percaya kepada sebagian besar prefesionalisme dokter dan rumah sakit di Indonesia, pabrikan obat membuat kesalahan mendasar: salah mengemas ampul obat. Ampun. Keadaan ini dimanfaatkan oleh rumah sakit untuk mengelabuhi pasien dengan memakai diksi hospital, sebagai kata ganti international yang sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia.

Salam bahagia ala saya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline