Lihat ke Halaman Asli

Prabowo Ungkap "Dosa" Zul?

Diperbarui: 21 September 2018   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Wartakotalive.com

Dengan kontestasi yang semakin mendekat, tensi politik nasional mulai mencapai titik didih. Banyak statement politisi menjadi sorotan hingga pergunjingan dalam berbagai media. Salah satunya statement salah satu capres, bapak Prabowo Subianto. Apa yang beliau katakan dan bagaimana efeknya pada tensi politik Indonesia? 

Beberapa hari terakhir ini, semua media mulai dari media massa dengan platform cetak, digital, sampai media sosial berlomba-lomba membahas dua isu penting dalam dunia politik. Tentunya ini bukan soal Soraya Rasyid dengan baju GTVnya atau netizen yang salah mengunduh film 'The Nun'. Dua isu tersebut adalah Ijtima Ulama jilid II yang mendadak berisi sangat nasionalis dan ucapan pak Prabowo kepada media tentang strategi pemenangannya. 

Dua hal yang tidak terkesan istimewa dan cenderung monoton dari kubu pak Prabowo. Namun yang menjadikan dua hal tersebut istimewa adalah statement Prabowo yang mengungkit luka lama tentang kekalahan Ahok. Yang lebih mencengangkan, Prabowo menyatakan bahwa Zulkifli Hassan adalah sutradara dibalik lengsernya sang gubernur yang dikenal tegas dan anti-korupsi. Lalu, apa yang diperdebatkan? Mengapa ini menjadi "dosa" pak Zul? 

images-2-5ba45c10c112fe1b3325fcc2.jpeg

Sumber : Tribunnews.com

Turunnya Sang Jendral Anti-Korupsi

Kalau kita merefleksikan dunia politik Indonesia yang dramatis belakangan ini,  kita dapat mengambil kesimpulan bahwa segala drama nan gegap gempita ini bermula pada tahun 2012. Pada tahun tersebut ada sebuah pasangan tukang kayu dan tukang "labrak" yang maju dalam kontestasi "semi nasional" bernama Pilgub DKI. Banyak isu identitas sampai isu agama yang dilontarkan pihak petahana pada pasangan ini. Pasangan yang begitu ditakuti oleh petahana pada saat itu, yaitu Fauzi Bowo.

Namun mereka tampil berbeda dan berhasil membuka hati masyarakat dengan gaya yang kurang politis namun mbois. Gaya yang tak mampu meraup pundi-pundi koalisi namun menjadikan rakyat berpartisipasi. Bukan berkoar dengan toa di jalan-jalan namun blusukan. Dan gaya tersebut menang.

Dan di kemudian hari, kesuksesan ini mampu menular pada kontestasi yang lebih besar. Pemilihan Presiden 2014 yang dimenangkan oleh pak Jokowi yang disokong oleh koalisi minim suara dan bercita rasa oposisi. Namun dengan pola politik yang sama, beliau mampu mendapat pundi-pundi elektoral yang diwujudkkan masyarakat melalui suara. Rakyat memandatkan Indonesia pada Jokowi dan DKI pada Basuki. 

Dan sosok Basuki sontak menjadi sorotan. Gubernur non-pribumi dan non-muslim pertama yang memimpin DKI. Ditambah rekam jejak anti-korupsi dan transparan membuat lawan politik mereka minder. Hal ini berdampak pada strategi pelengseran di luar konstitusi yang berulang kali diupayakan. Basuki ada di ujung tanduk. 

Sampai akhirnya pada 2017 sang Jendral akhirnya turun tahta. Kenapa Jendral? Beliau bukanlah Raja yang tukang suruh dan tau beres. Beliau menjadikan rakyatnya raja dan dia adalah pelayannya, jendralnya. Dan koruptor adalah musuhnya. Riwayat Jakarta yang transparan, bersih dan anti-korupai kalah oleh politik identitas. Lalu apa hubungannya dengan kontestasi ini? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline