Kontestasi 2019 memang sudah ada di depan mata, banyak politisi elite partai sampai "emak-emak" mulai bergerilya mencari satu hal, suara masyarakat. Namun kontestasi politik ter-akbar di Indonesia ini tidak bisa dibilang akan terjadi dalam waktu singkat. Masih banyak waktu untuk drama politik nan puitis yang dirancang oleh para pelaku politik. Dan hal ini hanya bisa kita nikmati sambil menghirup wanginya kopi. Apa saja itu?
Akhir-akhir ini banyak kejadian-kejadian politis yang mengundang gelak tawa,entah dari kubu Jokowi maupun Prabowo. Mulai dari petingkah Farhat Abbas, Ali Mochtar Ngabalin sampai Mardani Ali Sera menjadi panggung dagelan nasional.
Banyak juga blunder-blunder politik yang mencengangkan bagi khalayak umum yang dilakukan dengan dalih menyelamatkan bangsa dan negara. Dan yang paling teringat adalah langkah Partai Demokrat yang 'batal' memberi hukuman kepada Gubernur yang "menyeleweng" ke kubu berlawanan. Hal ini semakin menimbulkan kecurigaan akan adanya keraguan Partai Demokrat terhadap pasangan yang diusungnya. Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi?
Narasi Demokrat dibuka dengan statement dari para petinggi partai yang mengancam para kader yang membelot dengan hukuman yang 'berat'. Kader-kader yang dimaksud tentunya adalah Ruhut Sitompul, Lukas Enembe, Dedi Mizwar dan juga TGB (Tuan Guru Bajang).
Mereka mengatakan bahwa sudah mekanisme partai berlambang bintang Mercy tersebut untuk mengeluarkan kader yang tidak menghormati dan mengikuti arahan dari partai. Maka dari itu, timbul headline-headline di media massa digital maupun cetak bahwa kader-kader tesebut akan segera 'ditindak'.
Beberapa hari setelahnya, sebuah media ternama di Asia, Asia Sentinel, mengungkap keterlibatan presiden ke-6 Republik ini dalam kasus Century.
Hal ini membuat posisi Demokrat terdesak dan nampaknya hal ini menjadi dasar batal nya "hajaran" partai Demokrat kepada kadernya yang membelot. Dan hal ini mnambah runyam saya posisi Demokrat dalam kontestasi ini. Namun sekali lagi, ini hanyalah opini yang memiliki dasar fakta dan logika berpolitik seorang mahasiswa saja.
Lalu, bagaimana dengan Yenny Wahid?
Diakui maupun tidak, keluarga dari Gus Dur selalu memiliki komoditas politik yang kuat. Entah itu karena sosok Gus Dur yang dihormati dan diteladani, ataupun keluarganya yang dianggap representasi dari PBNU.
Hal ini juga berlaku pada sosok anak ke-3 dari Gus Dur, Yenny Wahid. Sebagai Gusdurian, sebutan pengikut Gus Dur, yang terjun ke dunia politik, Yenny Wahid tentunya menjadi kunci sukses bagi siapapun yang mampu menggaetnya. Selain itu, Yenny Wahid juga dipercaya kedua kubu dapat merebut suara para Nahdiyyin yang merupakan basis umat terbesar di Nusantara. Lalu, bagaimana langkah Yenny Wahid?