Lihat ke Halaman Asli

Poniyem Fitriana

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mumpung masih sepekan setelah 1 Syawal, kisah dari mudik kemarin rasanya masih cukup aktual, meski pelbagai isu mutakhir – seperti krisis keuangan dan merosotnya rupiah – semakin mencemaskan.

Salah satu yang masih tengiang adalah bagian dari kotbah Idul Fitri di Lapangan Simpang Lima Semarang yang disampaikanMenteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Di sana diingatkan, agar kita tidak memitoskan Ramadan, dengan memusatkan amal perbuatan yang baik hanya pada bulan Ramadan. Bahkan banyak mengingat Allah pun hanya dilakukan pada bulan Ramadan, sementara untuk bulan-bulan lainnya kita tak peduli.

Dari Semarang saya silaturahmi ke mertua di Kebumen. Di antara keluarga yang saya temui, satu sosok yang mengesankan adalah ibu bapak mertua saya. Mbah Purwo ini usianya sudah 91 tahun, tapi untuk usianya, masih tergolong awas, alert, dan utuh. Dalam arti, ia juga masih punya sense of humour.

Di luar yang lain-lain, pertama-tama saya terkesan dengan kondisi kesehatannya. Padahal awal tahun lalu Mbah Purwo ini sudah sakit berat, bahkan kritis. Dari keterangan istri yang sebagai cucu banyak mendengar cerita dan melihat sendiri gaya hidup Sang Nenek, terungkap, bahwa Mbah ini banyak menerapkan hidup “secukupnya”. Selain banyak puasa, ngrowot (ungkapan dalam bahasa Jawa untuk makan tumbuh-tumbuhan, seperti dipraktikkan oleh Mbak Titiek Puspa), Mbah juga kalau makan tidak pernah – atau jarang sekali – nambah, betapa pun enaknya hidangan. Ketika menginap di rumah, saya amati, setiap kali makanporsinya juga tidak sepiring penuh, tapi setengah piring kurang sedikit. Ia selalu menolak kalau ditawari tambah. Lauknya pun paling hanya dua macam, atau paling banyak tiga macam.

Itu amat menggugah, karena boleh jadi itu justru salah satu kelemahan saya. Resep panjang usia yang tampaknya gampang itu ternyata sering tidak mudah dilaksanakan. Tapi sekembali dari Kebumen, terbit satu resolusi (tekad di hati) untuk mengikuti jejak Mbah Purwo ini.

Di Kebumen saya juga diajak singgah halal bihalal di Winong – sebuah desa sekitar 15 km di timur Kebumen. Di sini ada adik Mbah Purwo – sebut saja Mbah Winong – yang usianya 86 tahun. Kondisi sudah lebih mundur dibanding Mbah Purwo, tapi juga masih sadar dan berkomunikasi dengan baik.

Kearifan yang saya petik dari perjumpaan dengan kedua Mbah di atas adalah tentang usia tadi, yang sulit dipisahkan dari gaya hidup sehat. Isu ini jelas tambah relevan justru ketika kita sedang merayakan Lebaran, yang umumnya ditandai dengan makan los hidangan berkolesterol tinggi. Hari Kemenangan ini sering kita gunakan untuk membayar tunai puasa, sehingga beberapa hari setelah puasa, kehilangan berat badan sudah terganti penuh.

Mungkin tidak apa-apa kalau kita lakukan itu selama Hari Kemenangan. Yang mengkhawatirkan adalah kalau perayaan Hari Kemenangan berkepanjangan…

Poniyem Fitriana

Kalau cerita tentang Mbah Purwo adalah kisah tentang orang tua, di hari Lebaran juga ada cerita tentang kelahiran, tentang insan generasi gres. Sepupu istri melahirkan di hari kedua Lebaran, bertepatan dengan Kamis Pon. Dengan hari kelahiran yang spesial ini, Sang Kakek punya ide yang orisinal, yaitu mengusulkan nama bagi cucunya ini sesuai dengan momen kelahirannya, yakni Poniyem Fitriana. Poniyem banyak digunakan orang Jawa ketika anak perempuannya lahir pada hari pasaran pon. Sementara Fitriana nama yang alamiah ketika orang tua mengharapkan sang anak mewarisi watak suci yang diturunkan oleh Idul Fitri.

Tapi saya mesti mencek lagi, apakah orang tua jabang bayi setuju atau tidak dengan usulan sang Kakek, yang meskipun masuk akal tapi mungkin dirasa old-fashioned.

Lalu ketika kami bersiap-siap kembali ke Jakarta pada hari Jumat (3/10), datang berita bahwa paman istri meninggal, membuatnya harus ikut membantu acara perkabungan.

Jadi, suasana Lebaran kali ini pun saya seperti diperlihatkan lagi pada siklus hidup manusia, diawali dengan kelahiran yang dipenuhi dengan harapan, lalu usia senja, dan akhirnya pergi dari dunia fana.

Kita tentu ingin memetik hikmah dari perjalanan hidup, agar ia tidak menjadi hidup yang hampa tanpa makna. Dari Lebaran yang hadir setiap tahun, paling tidak kita bisa belajar hidup dengan kalbu yang suci.

Bagaimana caranya? Saya ambilkan satu SMS yang penuh kearifan dari banyak SMS yang saya terima semasa Lebaran.

If one star falls every time we make mistake, I bet the Sky is already dark. So let’s lighten it up again by forgiving.” Iya, kalau setiap kali kita berbuat salah ada sebuah bintang jatuh dari langit, saya kira Langit sudah akan gelap (akibat banyaknya kesalahan manusia). Untuk itu, mari kita buat terang kembali Langit dengan memaafkan. Itu lah SMS dari sahabat saya Maya Hasan, peharpa yang akhir-akhir ini juga aktif sebagai model, Oct 2, 2008.

* * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline