Lihat ke Halaman Asli

Realita Pajak Kendaraan Bermotor di Balik Kampanye Penghapusannya

Diperbarui: 7 Januari 2019   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

radarbogor.com

Sore itu saat menelurusi arus lalu lintas timeline sosial media saya, ada satu hal menarik yang cukup ramai menjadi perbincangan di kalangan warganet sekitar. Sebuah spanduk partai menuliskannya dengan gamblang kebijakannya yang akan menghapuskan pemberlakuan pajak tahunan STNK motor dan SIM untuk berlaku seumur hidup. Sontak pertanyaan utama timbul dari kalangan warganet seperti, "Lalu pendapatan negara berkurang, dong?"

Usutnya, ternyata agenda tersebut telah diutarakan oleh petinggi partai jauh-jauh hari sebelum kabar beredar menjadi viral. Menurutnya, pemberlakuan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), Tarif Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, biaya administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan biaya administrasi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan negara dan hanya menambah penderitaan rakyat.

Pajak Kendaraan Bermotor dan Angka Realisasinya

Dengan landasan hukum pada UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pajak untuk kendaraan bermotor berjajar bersamaan dengan pajak yang diberlakukan provinsi lainnya sebagai kategori Pajak Daerah. Dengan rumus tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak, PKB memiliki tarif yang berbeda di masing-masing provinsi dan nominal dasar pengenaan pajak yang ditentukan oleh pemerintah lewat tabel yang diterbitkan setiap tahunnya.

Lantas, apakah penerimaannya insignifikan terhadap APBD Provinsi? Sayangnya data berkata beda. Dilansir dari  Laporan Realisasi Anggaran Pemprov tiga provinsi dengan jumlah angka kendaraan bermotor terbesar, tercatat bahwa penerimaan PKB masing-masing Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki angka yang sangat berpengaruh pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka.

Di tahun 2017, penerimaan PKB dan BBNKB provinsi ibukota menjadi 18,24 persen bagian dari PAD keseluruhan. Sementara Jawa Timur mencatatkan penerimaan 70,1 persen di tahun 2016 dan Jawa Tengah di tahun 2017 sebesar 64,5 persen dari masing-masing PAD mereka. Data yang dilansir tersebut berbeda jauh dengan yang diucapkan oleh petinggi salah satu partai itu yang mengatakan bahwa penerimaan pajak kendaraan hanya berada pada kisaran 7-8 persen saja tiap tahunnya.

Jika kemudian pemberlakuan pajak kendaraan dihapuskan pada tiap provinsi, maka tentunya akan menimbulkan celah pada tiang-tiang pendanaan masing-masing provinsi. Pada satu contoh yaitu Jawa Tengah. Sumbangan PKB dan BBNKB sebanyak 64,5 persen dari PAD Jateng terjumlah dari penerimaan sebanyak 6,87 triliun Rupiah. 

Sementara itu sumbangan dari elemen penerimaan pajak daerah lainnya seperti Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Rokok, Retribusi Daerah dan lainnya hanya memiliki andil pada kisaran 3,76 triliun pada satu tahun periodenya.

Artinya, tiap-tiap daerah harus siap sedia untuk mengisi kekosongan yang ditimbulkan apabila pajak kendaraan dihapuskan mengingat tiap tahunnya kebutuhan belanja masing-masing provinsi berbeda dan nominal yang tidak sama juga. 

Selain itu, meski  penerimaan provinsi dari dana yang disalurkan oleh pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tiap tahunnya pun akan tetap terasa berat untuk menambal kekosongan penerimaan pajak yang ditimbulkan, namun hal itu bukan berarti tidak mungkin jika saja pemerintah pusat memang siap untuk menggelontorkan segumpal uang siap saji untuk tiap provinsi.

Jangan Lupakan Esensi Eksternalitas Pajak Kendaraan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline