Pagi itu, ratusan orang berbondong-bondong turun ke jalan. Saya kira orang-orang itu 'turun ke jalan'aksikali ini sama seperti aksi yang diisi oleh sekumpulan orang mengenakan pakaian serba putih untuk membela sang mistikusnya dengan menggunakan simbol angka seperti aksi yang sudah-sudah.
Namun ternyata aksi ini diisi oleh banyak wanita tangguh yang berjuang untuk membela haknya, melawan kekejaman akibat pembentukan budaya di tempatnya. Mereka berkumpul di jalan MH Thamrin dengan membawa berbagai macam atribut untuk menyuarakan tuntutan mereka dengan meminta proteksi lebih kepada pemerintah dan juga untuk merubah paradigma masyarakat dalam memandang perempuan.
Ialah women's march sebagai jalan yang ditempuh untuk menyuarakan suara mereka. Aksi yang juga dilakukan di banyak negara lain seperti Amerika Serikat ini kerap menjadi momen untuk menyuarakan tak hanya hak-hak mengenai wanita, melainkan juga hak-hak lain seperti hak untuk imigran, hak kesetaraan ras, hak kebebasan beragama, dan hak untuk pekerja sebagaimana yang terjadi pula di Washington tahun 2017. Tak hanya itu, aksi ini juga mampu menciptakan suasana berbau politis sebagaimana aksi ini di AS pada tahun lalu digunakan untuk memprotes besar-besaran kebijakan Trump yang dinilai anti-wanita dan juga ofensif terhadap masyarakat marjinal lainnya.
Historisitas Pengagungan Laki-Laki dan Pola Perilaku Misoginistis
Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua. Hal ini terlihat pada praktek masyarakat Hindustan misalnya, pada zaman Vedic 1500 SM, perempuan tidak mendapat harta warisan dari suami atau keluarga yang meninggal. Juga dalam tradisi masyarakat Buddha pada tahun 1500 SM, perempuan dinikahkan sebelum mencapai usia puberitas.
Mereka tidak memperoleh pendidikan, sehingga sebagian besar menjadi buta huruf tidak mengenyam pendidikan sebagaimana kaum adam terima. Begitu pula di Indonesia pada tempo lampau, di era penjajahan Belanda maupun Jepang, perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi tentara-tentara asing yang sedang bertugas di Indoensia. Serta terdapat peraturan yang melarang perempuan mengenyam pendidikan, kecuali mereka berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan (ConventionWatch, 2007).
Hal-hal seperti inilah yang kemudian biasa kita sebut sebagai budaya patriarki. Sebagaimana menurut Alfian Rokhmansyah (2013) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme,patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.
Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki seakan-akan memiliki kuasa absolut pada perannya sebagai kontrol utama dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh hingga bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat.
Waktu berlalu dan zaman berganti, keadaan pun tak sama seperti dulu. Melalui karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang,Kartini mampu mengungkapkan segala permasalahan yang didera wanita dan berhasil membuka mata bangsa dan dunia terhadap kesetaraan genderdalam hal ini wanita.
Kita pun sekarang pasti melihat perempuan mengenyam hak pendidikan yang sama dan tak jarang pun kita lihat perempuan banyak menduduki posisi strategis dalam sebuah jabatan negara maupun perusahaan. Namun kesetaraan gender yang dicita-citakan tentunya tak sebatas pada substansi-substansi formal seperti ini, pada kenyataannya di negara kita masih terdapat banyak ketimpangan pada substansi sosial.
Satu contoh yang mudah kita lihat adalah pandangan masyarakat terhadap subyek antara pelaku dan korban pemerkosaan. Pada kenyataannya, kita masih banyak menjumpai tak sedikit dari orang yang beranggapan bahwa dalam suatu kasus pemerkosaan adalah mutlak kesalahan dari sang korban, lagi-lagi wanita.