By: Nana, Nino, Iim (peserta no. 180) Beijing, 8 Oktober 2011. "Kau kenapa, Na?" "Aku gagal. Mimpiku jadi balerina musnah karena kecelakaan panggung saat pentas 'black swan' kemarin. Wo xiang ku," ucap Nana dengan menunduk. "Gagal itu biasa, bangkit kembali itu yang luar biasa. Jangan sia-siakan air mata demi sebuah ego yang tak perlu. Ada aku untukmu." Nana menoleh lelaki di sampingnya itu. Jarak mereka hanya satu jengkal. "I've a shoulder to cry on, dear." Pelan, kepala Nana bersandar di pundak Nino. Tetes air mata membasahi kemeja kotak-kotak Nino. Lalu, tangan Nino merogoh kantong. Sebuah kalung benang berliontin giok warna hijau ada di genggamannya. "Laa tahzan. Bolehkan aku pakaikan di lehermu? Ini bukti sayangku padamu." Taukah giok ini kudapat dari air mata kesetiaan? Kujalin kasih dengan cinta Penuh harapan keindahan Bening seperti embun pagi yang memberi nuansa segar di kehidupan. Ketika kalung ini di lehermu Rasakan dekap hangatku bersamamu Kan kau rasakan nafas dan darah kita menari bersama Seperti udara yang kau hela Seperti mentari yang tak lelah memberi kehangatan "Jaga kalung giok ini seperti kau menjaga cintaku" *** Surabaya, 12 Januari 2012. Hari itu, Iim ke Juanda untuk menjemput Nino. Suka cita memenuhi hatinya ketika kerinduan yang terpendam selama 3 bulan akhirnya terbayar sudah. Lebih-lebih Nino mengikatnya dengan sebuah kalung benang warna merah berliontin giok warna hijau muda, oleh-oleh kepulangan Nino yang ditugaskan di kantor pusat, di Beijing. “Kau perempuan satu-satunya di hatiku, Im. Kau mesti tahu itu,” bisik Nino sembari mengecup dahi Iim. Iim menikmatinya dengan mata terpejam. Hati Iim mengembang seperti tercampuri soda kue berkilo-kilo. “Woaini, hen aini…” bisik Nino sekali lagi “Aku juga cinta kamu, No.” balas Iim dengan tersipu dan sedetik kemudian tubuh Iim telah berada dalam pelukan Nino. Waktu terasa begitu indah. Tak perlu banyak berkata-kata. Dengan jari-jari mereka saling bertautan dan dari mata mereka saling memandang adalah cara mereka meluapkan kerinduan. Memang bagi orang biasa, waktu 3 bulan bukanlah waktu yang lama. Tapi bagi pasangan yang sedang dilanda cinta, 3 bulan adalah waktu yang menyiksa. Dan itu di rasakan benar oleh Iim. “Miss you, No… much,” bisik Iim lirih. Tak ada jawaban dari bibir Nino, hanya pelukan Nino yang dirasa semakin erat. If Your not the one then why does my soul feel glad to day…? If Your not the one then why does my hand fit yours this way..? If Your not the one then why does your heart return my call..? If Your not mine would I have the strength to stand at all? *** Surabaya, 19 Januari 2012 HP Iim bergetar. Sebuah SMS masuk. "Mimpiku gagal. Aku sudah kembali ke Surabaya, penari kecilmu, Nana Hilfinger." Setelah SMS berbalas, kedua sahabat itu bertemu. Nana menceritakan pecahan hidupnya selama di Beijing. Bahkan, bercerita tentang lelaki yang dekat dengannya. "Ini fotonya. Dia orang Surabaya, nanti aku kenalkan padamu." ucap Nana, lalu menunjukkan giok itu. "Sepertinya aku pernah melihatnya." Iim dan Nana berpandangan! *** Surabaya, 5 Februari 2012. “Aku liat dengan mataku sendiri, Im. Nino dinner ama Nana Hilfinger di kafe Romance kemarin,” suara Farid terdengar nyaring dari ponselnya. Ya iyalah liat dengan mata sendiri, emang minjem mata sapi? Batin Iim agak kesal mendengar cerita Farid barusan. "Kekasihmu kencan, bermesra-mesraan, tapi kau...” ucap Farid dengan nada cemburu. Iim tahu persis Farid tengah naksir berat sama Nana. "Kau yakin?" “Terserah kau percaya atau tidak. Kalau ada apa-apa, jangan usik aku.” timpal Farid sebelum menutup telponnya. Dan akhirnya tut..tut…telpon terputus. Iim menghela nafas panjang. Dan sekelebat bayangan Nino dan nana sedang bermesraan muncul seperti kata-kata Farid tadi. Namun, buru-buru Iim menyingkirkannya. 'Gak mungkin. Katakan padaku kalau mereka hanya sobatan. Tapi... foto yang ditunjukkan Nana, juga giok yang mirip punyaku itu bukan kebetulan semata, kan? batin Iim. Surabaya, 12 Februari 2012. "Dengerin dulu penjelasanku. Aku ama Nana tuh nggak ada apa-apa. Cuma kau di hatiku, Im," ucap Nino dengan nada setengah memohon. "Udah deh. Kalung giok di leher Nana itu sudah lebih menjelaskan daripada kata-kata, No. Nana bilang, itu diberikan kekasihnya saat di Beijing kemarin dan dia juga menunjukkan fotomu?" Iim membalikkan badan dan bergegas pergi. Reruntuhan bunga-bunga akasia di sepanjang trotoar itu seakan turut berduka. Nino seperti sebuah arca yang kena kutukan, diam tanpa gerak menatap langkah Iim yang menjauh. Selang beberapa detik, kesadaran Nino kembali. Nino berlari dan meraih tangan Iim. Kejadian tiba-tiba itu membuat Iim hampir terjatuh. Buru-buru Nino menahannya. Kini tubuh Iim benar-benar berada dalam pelukan Nino. Aroma tubuh Nino segera masuk indera penciuman Iim. Diakui atau tidak, Iim pun merindui parfum khas lelaki itu. "Gimmie one more chance, Dear." ucap Nino masih dalam posisi memeluk Iim. Iim berontak namun tenaganya tak lebih kuat dari Nino. Tangan Nino membenamkan kepala Iim di dadanya. Hanya berjarak 3 meter dari tempat itu, sepasang mata memerhatikan dan mendengar semuanya. Dialah Nana. *** Tak kusangka cinta yang kujaga ini hanya sebongkah bangkai hidup yang busuk Kata-kata manis hanya ada dalam lidah Tak dapat kupercaya Aku hanya tertipu oleh lamunan mata Buah kebodohan semata Mulut yang manis, tampang yang menawan Tapi hati bagai srigala yang menerkam mangsa Kini aku seperti lilin yang meleleh karena api yang membakar diri Tak ada raga yang bisa memopong tubuh ini Lemah tak berdaya Bahkan ketika nanti ada angin datang dan meniup, aku akan terbang bersamanya Karna tubuh ini tak ada daya upaya tuk melawanya ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H