Lihat ke Halaman Asli

Ninna Maulidayna

Mahasiswa/i

Tantangan Pengadilan Agama dalam Penanganan Kepailitan dan PKPU Syariah

Diperbarui: 4 Juni 2024   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sengketa sering kali timbul karena perbedaan atau pertentangan antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam industri perbankan, terutama di sektor pembiayaan dan/atau kredit, sengketa antara bank dan nasabah adalah hal umum, karena, nasabah sebagai debitur, tidak selalu dapat memenuhi kewajibannya dalam membayar utang kepada bank, sebagai kreditur. 

Meskipun telah ada perjanjian atau ijab dan qabul dihadapan notaris antara keduanya, nasabah bisa dipailitkan oleh bank jika gagal membayar utangnya. Sama halnya dengan bank konvensional, sengketa mengenai kepailitan dan penundaan pembayaran utang juga mungkin terjadi dalam perbankan syariah.

Namun, yang menjadi sebuah permasalahan ketika proses penyelesaian terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan yang semestinya diselesaikan oleh Pengadilan Agama justru ditemukan penyelesaiannya secara konvensional atau melalui PN. Adanya ketidaksesuaian normatif antara Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan PERMA Nomor 2 Tahun 2008 terkait "Pengadilan", secara tidak langsung mengindikasikan Pengadilan Niaga sebagai institusi yang dimaksud. 

Hal ini disebabkan oleh sejarah pembentukan Pengadilan Niaga yang bertujuan untuk mempercepat penyelesaian utang-piutang debitor dengan proses yang sederhana, cepat, dan untuk meningkatkan kepercayaan investor asing. Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tidak membedakan antara kepailitan yang terjadi pada lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah karena pada saat UU tersebut diberlakukan, pertumbuhan lembaga keuangan syariah belum signifikan. Hal ini tidak mengalami perubahan meskipun lembaga keuangan syariah mengalami peningkatan aset setiap tahunnya. 

Walaupun demikian, terdapat kontradiksi ketika melihat ketentuan PERMA nomor 2 Tahun 2008 mengenai Kepailitan, yang dilahirkan untuk merespons Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang memberikan wewenang kepada Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.

Karena ketiadaan hukum materiil yang mengatur penyelesaian ekonomi syariah saat itu, PERMA tersebut berperan sebagai pengisi kekosongan hukum. Semua ketentuan dalam PERMA Nomor 2 tahun 2008 berkaitan dengan hukum materiil ekonomi syariah, dan lembaga peradilan yang menanganinya seharusnya diwakili oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah. Sehingga, dalam konteks menyelesaikan masalah kepailitan di ranah ekonomi syariah, untuk mengikuti arus ekonomi syariah, UU seharusnya memberikan kewenangan kepada pengadilan agama. 

Penyelesaian sengketa kepailitan dalam konteks ekonomi syariah seharusnya menjadi kewenangan pengadilan agama, sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 49 huruf i UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdampingan dengan Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah. Namun, sampai saat ini, bank syariah di Indonesia masih menyelesaikan sengketa kepailitan di pengadilan niaga.Walaupun setelah itu hadir Perma No.14 Tahun 2016, namun dalam praktiknya kewenangan ini belum sepenuhnya optimal, dengan beberapa sengketa ekonomi syariah lainnya tetap ditangani oleh Pengadilan Niaga dalam sistem Peradilan Umum, pada lembaga keuangan syariah yang menciptakan kesan adanya dualism kewenangan atau kewenangan ganda. 

Salah satu permasalahan tersebut adalah terkait permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan kepailitan yang didasarkan pada prinsip syariah, namun dalam prakteknya masih menjadi kewenangan pengadilan niaga, bukan pengadilan agama/mahkamah syar'iyah. Karena, alur antara kompetensi dan/atau kewenangan yang melandasi penyelesaian melalui PA dan PN yang menggunakan BW (ekonomi konvensional) dan ekonomi syariah menjadikan kedua hal tersebut berbeda terkait sumbernya, sehingga jika dipaksakan penyelesaiannya secara silang atau dalam artian tidak sesuai koridornya maka menjadi tidak relevan terkait kewenangan dan juga sumber yang mendasari untuk penyelesaiannya.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri pertentangan normatif yang menyebabkan multitafsir akibat ketidakjelasan kewenangan dalam melakukan penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang memiliki peranan penting seperti stakeholder  sesegera mungkin untuk melakukan revisi UU Kepailitan dengan memasukkan aspek kepailitan syariah dan menetapkan Pengadilan Agama sebagai pengadil utamanya. Hal yang demikian dilakukan sebagai solusi jangka pendek, diimbangi pula agar Mahkamah Agung membentuk Pengadilan Konektivitas, di mana hakim-hakim dari Pengadilan Agama yang memiliki sertifikasi dalam ekonomi syariah dapat ditugaskan dalam panel yang menangani perkara kepailitan dan PKPU yang berkaitan dengan prinsip ekonomi syariah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline