Rumahku adalah tempat ternyamanku, sungguh ungkapan indah yang memberikan ketenangan saat mendengarkan ungkapan itu. Mungkin sebagian anak merasakan hal tersebut, namun tidak bagiku. Sejak aku kecil orangtuaku selalu bertengkar dan pemandangan itu sudah menjadi hal biasa bagiku. Orangtuaku adalah orang yang hanya sibuk bekerja. Kala itu, aku masih terlalu kecil, hanya mengerti hitungan satu tambah satu, aku tak mengerti rumitnya pikiran bapak ibu. Beranjak remaja, pikiran yang ada dikepalaku semakin berisik, inginku luapkan segala rasa yang tertahan di dada. Nyatanya mulutku memilih bungkam. Tak ada yang mendengar, tak akan ada yang mengerti. Nyatanya pertengkaran dikeluargaku belum usai selama bertahun-tahun lamanya. "Aku adalah anak yang tumbuh sering melihat pertengkaran orangtua." Bapak yang selalu menggunakan nada tingginya atau melempar barang disekitarnya. Ibu juga mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengarkan. Semuanya masih terekam dalam memoriku, rasanya sulit melupakannya begitu saja. Ini beneran keluarga? Tiap hari selalu ada pertengakaran, tiap hari selalu ada cacian makian. Setelah sekian lama pertengkaran yang tak berujung. Ternyata, bukan hanya karena perbedaan pendapat di antara mereka, tetapi juga karena cara mereka mencintai anak-anaknya yang tak pernah seimbang. Bapak ibu selalu memberikan perhatian lebih pada Satya, si sulung yang selalu mereka banggakan.
"Aku tidak pernah sebaik satya ya bu?" Tanyaku lirih sambil menggenggam tangan ibu.
"Satya itu anak yang paling sukses dikeluarga ini! Kamu kapan bisa kayak dia?" Suara ibu bergema dikepala.
Aku menghela napas, berdiri, dan menuju kamar tidur. Aku duduk dimeja belajar, menatap tumpukan buku yang kubuka tanpa minat. Buku berserakan, tugas matematika yang belum selesai. tapi, aku tidak peduli. Mau sekeras apapun aku mencoba, hasilku tidak pernah cukup dimata ibu. Satya si sulung yang punya segalanya. Rumah bagus, mobil baru, dan perhatian ibu bapak yang tak pernah berkurang meski dia jarang pulang.
Aku? Ninis, si bungsu yang katanya pemalas, gak becus, dan hanya jadi beban.
"Satya waktu seumur kamu itu udah mandiri. Rajin belajar, disiplin, lihat sekarang, dia tentara." Suara ibu masing terngiang ditelingaku, meski kini hanya detik jam dinding yang terdengar diruangan ini.
Kalau satya adalah kebanggaan keluarga, aku hanyalah bayang-bayang yang hidup untuk dibandingkan. Satya punya seragam gagah dan cinta tanpa syarat dari ibu dan bapak. Aku? Hanya anak bungsu yang selalu salah. Hidup sebagai anak bungsu di keluarga ini ibarat berjalan di lorong yang tak pernah punya cahaya. Bagiku rumah itu tidak ramah. Isinya hanya tentang marah-marah dan membanding satu sama lain. Meski bukan aku yang melakukan hal yang salah, tetap aku lagi yang harus mengalah. Mereka memandangku sebelah mata, yang mereka tahu hanyalah aku si anak pemalas. Aku tidak tahu disisi mana mereka melihatku dengan bangga, yang pasti diriku sudah melakukan hal yang terbaik semampu yang ku bisa.
Memang, pada tiap pundak anak-anak terdapat mimpi dan harapan orang tua disana. Sebagai anak sulung, yang katanya memikul beban paling berat. Menjadi harapan pertama bagi keluarga, ia dituntut harus selalu juara. Sedangkan Sebagai anak tengah, sering kali dianggap sebagai "penyeimbang." Lalu aku ini apa? Mengapa adil tidak berpihak? Mengapa harus aku yang mengerti bahwa kepentingan mereka harus didahulukan sedangkan aku juga punya mimpi. Membandingkan aku dengan anak lain yang punya prestasi, Sedangkan aku disini, jatuh bangun mengejar prestasi namun tetap tak kudapati sebuah apresiasi. Ketika aku masih kecil, aku sering melihat foto Satya dalam seragam militernya. Ibu selalu memajangnya di ruang tamu, menceritakan dengan bangga bagaimana anak sulungnya itu berbakti pada negara. "Satya itu tangguh, disiplin. Kamu harus belajar dari dia," katanya.
Lalu ada Nita, si anak tengah. Dia berhasil masuk kuliah keperawatan berkat dukungan penuh dari ibu dan bapak. "Nita harus sukses, biar bisa bantu keluarga," kata mereka. Dan kini, Nita memang sukses.
Lalu aku? Aku Ninis, anak bungsu yang baru kelas 2 SMA. Tapi anehnya, meski aku masih sekolah, rencana hidupku sudah ditentukan. "Nis, nanti habis lulus kamu kerja aja. Gak usah kuliah. Bantu keluarga dulu," kata bapak suatu malam. Hanya Nita, kakak tengahku, yang mengerti. "Sabar ya, Nis. Kamu itu lebih kuat dari yang kamu pikir," katanya saat ia mengunjungiku. la tak pernah lama di sini karena punya keluarga sendiri, tapi tiap kata-katanya menjadi cahaya dalam kegelapan. Keluargaku menuntut aku untuk terus memahami keadaan, tapi nggak pernah nanya apa aku juga punya masalah dan butuh bantuan. Aku diharuskan bisa memahami banyak sudut pandang. Sudut pandang ibu, bapak, orang-orang yang aku sayang, belum lagi melihat diriku sendiri. Ya tuhan, selama ini sebenarnya aku menangisi luka siapa?. Aku selalu dibanding-bandingkan dan selalu salah dimata mereka.
"Kenapa sih kamu, kok beda banget sama kakakmu? Dulu kakakmu seumur kamu sudah rajin bantuin Ibu, nggak perlu disuruh-suruh. Kamu malah sering malas-malasan, tugas juga nggak pernah selesai tepat waktu." BODOH BANGET PUNYA ANAK. Ujar ibu memarahiku dengan nada ketus.