Lihat ke Halaman Asli

Diskriminasi dalam Pendidikan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Lebih baik dengan keberanian yang terhormat, menanggung resiko perlakuan jahat yang kita dapat antisipasi daripada berdiam diri sebagai pengecut karena takut pada apa yang akan terjadi. (Herodotus, Sejarawan Yunani)

Elitisme Keagamaan
Zaman belanda pendidikan dijalankan dengan basis diskriminasi. Para elitisme pun membagi klasifikasinya. Ada elitisme tradisional dan modern. Elitisme tradisional melihat peserta didik berdasarkan keturunan dan elitisme modern melihatnya dari segi finansial. Bagi siapa yang beruntung, anak bupati atau birokrat penting lainnya dapat dengan mudah mencicipi pendidikan yang layak dan juga dirasai bagi mereka yang beruang secara otomatis mendapatkannya.
Saat ini praktik elitisme masih sering kali ditemukan dan nampaknya membudaya bagi sebagian lembaga pendidikan yang ada. Baik menyandang nama negeri dan swasta sama saja. Namun parahnya, ketika pendidikan utama indikator keberhasilan pendidikan selanjutnya adalah pendidikan tingkat dasar tak lagi menampung peserta didik dari elemen masyarakat manapun. Elemen feodalisme masih melekat pada pribadi-pribadi pendidik yang plegmatis. Serba mudah dan tak mau ambil pusing. Sebagai seorang pendidik, katakanlah pendidik yang profesionalisme seyogianya menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan. Menciptakan bangsa yang bersumber daya manusia yang cerdas diharuskan melewati apa yang dinamakan pendidikan dasar. Karena pendidikan inilah yang menjadi ujung tombak bagi pendidikan berikutnya. Dalam mengupayakan kecerdasan tersebut dihalalkan bagi siapapun berhak mendapat pendidikan dasar. Bukan dilihat dari keturunan ataupun finansial.
Dalam kenyataannya, ternyata masih ada bentuk-bentuk diskriminasi yang mungkin tidak banyak orang mengetahuinya. Dalam terdekat ini, hampir setiap sekolah dasar membuka penerimaan peserta didik baru (PPDB). Membuka lebar-lebar pintu gerbang sekolah bagi siapa (orangtua) yang hendak mendaftarkan anaknya untuk masuk di sekolah yang mereka pilih. Namun sangat disayangkan jika masih ada praktik-praktik dari beberapa oknum sekolah yang secara sengaja tidak memaknai pendidikan untuk semua (education for all). Tepatnya, masih ada beberapa sekolah yang tidak ingin menerima murid yang kurang mampu, atau lebih parahnya melihat dari sudut keagamaan. Dalam setiap agama sendiri tentunya tidak mengajarkan hal yang demikian. Membedakan manusia berdasarkan religi. Bukankah kita semua sama dan yang membedakan itu ialah alkhlak? Melihat sedikit keganjilan ini, tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja. Siapapun berhak mendapat pelayanan dalam pendidikan. Rasanya tidak bijak jika ada sekolah yang tidak membuka penerimaan siswa baru disebabkan faktor agama. Dengan alasan akan melelahkan dalam proses pembelajaran dan ketika ulangan nanti. Memang secara otomatis akan ada pelayanan khusus bagi siswa tersebut. Namun ini tetap akan menjadi kewajiban kita sebagai guru yang notabenenya adalah melayani (fasilitator). Apalagi sekolah tersebut sifatnya umum. Lain halnya seperti sekolah atau lembaga pendidikan yang memang sudah dikhususkan pada satu agama saja. Tapi sangat ironis jika sekolah umum yang tidak dibuka untuk umum.
Urgensi pola pikir (mindset) masyarakat kita perlu diubah. Pasalnya, sama saja kita seperti orang yang terus menerus berbicara demokrasi tetapi apa yang dibicarakannya abu-abu. Mengutip ungkapan Homer (penyair Yunani) bahwa jadilah pembicara kata-kata, dan pelaksana pekerjaan. Dalam hal ini sudah sepatutnya apa yang kita bicarakan sesuai dengan apa yang kita lakukan. Kalau secara bersama diakui bahwa pembangunan pendidikan harus dirasakan bersama, maka ungkapan pendidikan untuk semua juga harus termanifestasikan. Namun nampaknya manuver pendidikan ala tradisional membawa kita tetap terus jalan ditempat dan tak membawa perubahan. Bahwa yang harus diyakini adalah ketika pendidikan merata tanpa dalil apapun maka kita sudah turut mencerdaskan bangsa ini secara bersama-sama. Jika alasan tidak dapat menerima siswa baru dengan hal-hal yang tidak prinsipil, maka jauhkanlah niat untuk praktik-prakrik diskriminasi. Andaikan itu dapat dimengerti dan dipahami bagi oknum-oknum pendidik di sekolah maka tak ada ungkapan sekolah seperti menara gading.

Integritas Guru
Integritas seorang pendidik memang dibutuhkan dalam pencapaian profesionalisme. Bukan hanya sekadar membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) atau administrasi lainnya. Akan tetapi wujud dari integrasi diri perlu dilihatkan. Menurut Stephen R. Covey dalam penelitiannya bahwa moral beroperasi ke dalam Etika Karakter dan Etika Kepribadian sebagai dasar dari keberhasilan. Etika karakter sebagai dasar keberhasilan adalah integritas, kerendahan hati, kesetiaan, pengendalian diri, keberanian, keadilan, kesabaran, kerajinan, kesederhanaan, kesopanan, dan hukum utama kemanusiaan. Artinya, Seseorang akan mengalami keberhasilan sejati dan kebahagiaan abadi apabila mampu mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam perilaku pribadi mereka. Dan Bobbi De Porter menggambarkan integritas dengan dua segitiga kongruen diantaranya perilaku dan nilai-nilai. Jika keduanya berkesesuaian maka keduanya kongruen dan itulah integritas.
Jadi jika diri kita mampu mewujudkan apa yang digambarkan oleh Bobbi De Porter tersebut dalam kehidupan sehari-hari maka citra akan terbentuk. Begitupun pendidik. Jika perilaku positif dan nilai-nilai universal dapat diselaraskan dalam kehidupan nyata maka citra dari hubungannya dengan masyarakat akan terbentuk positif pula. Untuk itulah hal menjadi sangat urgen dimiliki oleh seorang pendidik yang tak sepantasnya membeda-bedakan peserta didik atau calon peserta didiknya. Untuk melawan praktik pendidikan yang tak memebaskan itu, kiranya kita memerlukan ideologi pendidikan yakni sekolah memerlukan guru yang memandang murid sebagai manusia yang mulia, sekolah harus bisa menangkal sistem sosial yang tidak manusiawi, dan yang terpenting lagi adalah guru harus menyediakan dan melayani (fasilitator). Berangkat dari 3 hal ini sudah sepatutnyalah guru harus harus benar-benar bisa melayani dan bertindak secara jujur (fair play). Agar citra guru tak lagi miring dengan tumbuhkembangnya praktik diskriminasi di sekolah. Sehingga apa yang diwujudkan bersama dalam pendidikan nasional dapat terwujud. Bukan tujuan pendidikan sekelompok kepentingan, lebih hakikinya ialah semua manusia yang berharap dari proses pendidikan akan menjadi (to be).
I Have So…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline