Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Sayang Gusdur

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


TUHAN SAYANG GUSDUR

Malam yang lelah, setelah beraktifitas seharian. Akan tetapi panca indera ini tetap masih terjaga dalam fungsinya. Ketika sedang makan malam di tempat makan pinggir jalan, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak naik motor, berhenti dan mengatakan satu kata yang paling saya dengar jelas yaitu GUSDUR.

Respon otak ini begitu cepat sehingga terngiang-ngiang ada apa dengan Gusdur? Ketika sesampainya di rumah dan bertatapan dengan TV, saya melihat tulisan kecil berjalan di bawah layar bertuliskan “telah meninggal dunia mantan Presiden RI yang keempat yakni Abdurrahman Wahid alias Gusdur”. Saat itu mata ini langsung melotot merasa tidak percaya pada hal itu. Hati ini langsung bergumam “semoga ia tenang di sisi Mu ya Allah….”

Kehilangan sosok yang dipanuti memang menyedihkan hati. Dalam perspektif psikologi positif melihat sebagian besar orang akan mengindah-indahkan seseorang lainnya ketika seseorang itu sudah tiada. Padahal semasa orang itu hidup, seringkali lebih banyak memperhitungkan keburukannya dibanding kebaikkannya. Namun ketika sudah tiada, kata-kata positif menghantarkan ketiadaannya.

Satu sisi membicarakan orang yang telah tiada memang tidak disarankan. Apalagi pembicaraannya berpusat pada hal-hal negatif yang mungkin pernah dilakukan oleh almarhum/mah semasa hidupnya. Dalam Islam itu dinamakan ghibah dan hukumnya haram. Akan tetapi bagaimana membicarakan orang yang masih ada di tengah-tengah kita? Itu lain lagi persoalannya.

Yang ingin penulis sampaikan disini bahwa lebih bijak jika kita dapat membicarakan orang yang masih ada dengan melihat kebaikkannya bukan melulu pada kesalahanatau kekurangannya. Akan tetapi mungkin sulit rasanya menilai bijak seseorang dalam hidup yang penuh prasangka.

Perspektif di atas tidak ada kaitannya dengan pulangnya Gusdur ke tempat peristirahatannya. Melainkan hanya membawa wacana yang mungkin sebagian kita termasuk orang yang sering menggunjing rekan atau kerabat kita dengan hal-hal yang negatif, akan tetapi dalam kematiannya, kita justru membahasakan kenangan semasa hidupnya seolah orang itu baik di mata kita.

Akhir kata penulis tetap merasakan kehilangan yang sangat mendalam atas meninggalnya sosok yang cukup dikagumi oleh sebagian masyarakat Indonesia yakni Bapak Abdurrahman wahid. Yang paling disyukuri adalah sebelum kepergiannya, beliau sempat menikahkan putrinya. Kondisi ini seperti sudah dalam perhitungan sang Khalik.

Selamat jalan Gusdur……….

Penulis yakin bahwasanya Tuhan sayang Gusdur. Amin ya robbal alamin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline