Bab 2: Willow Street 38
Alina membuka buku harian itu dengan hati-hati, seakan setiap halaman bisa hancur jika disentuh terlalu keras. Tulisan tangan Henry terlihat rapi namun penuh dengan garis-garis spontan, mencerminkan jiwa seorang seniman. Catatan-catatan itu tidak hanya berisi hari-hari biasa, tapi juga kilasan mimpi, frustrasi, dan cinta yang tak pernah selesai.
"6 Februari 1955.
Aku bertemu dengannya di bawah pohon willow. Ia berbicara seperti angin musim semi, seakan setiap kata bisa menyembuhkan. Aku takut mencintainya, karena aku tahu cinta dan kehilangan selalu datang beriringan."
Alina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Siapakah "dia" yang dimaksud Henry? Jurnal ini tampaknya lebih dari sekadar dokumen pribadi---ini adalah potongan jiwa Henry, cerminan perasaan terdalam yang belum pernah ia bagi dengan dunia.
Di luar, hujan semakin deras, mengetuk lembut kaca jendela yang buram. Alina duduk di lantai kayu yang dingin, membiarkan dirinya tenggelam dalam kata-kata yang ditulis hampir tujuh dekade lalu. Semakin ia membaca, semakin ia merasa terhubung dengan Henry---bukan hanya sebagai objek penelitiannya, tetapi sebagai sosok nyata dengan segala kerumitan dan rasa sakitnya.
"21 Mei 1955.
Dia datang ke studionya lagi hari ini. Aku tahu ini berbahaya, tetapi setiap kali melihat matanya, aku merasa seluruh dunia tak lagi penting. Apakah seni bisa menyelamatkanku, atau justru menghancurkanku?"
Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan pertanyaan yang sama dalam benak Alina. Siapa wanita yang disebutkan Henry ini? Apakah dia cinta terakhir Henry sebelum kematian misteriusnya? Atau mungkin seseorang yang terlibat dalam takdir kelamnya?
Alina menutup buku harian itu dengan hati-hati dan melihat sekeliling ruangan. Rumah di Willow Street 38 ini adalah cermin dari Henry---penuh potongan-potongan cerita yang terputus, menunggu untuk dirangkai menjadi kisah utuh.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto di atas rak. Dalam foto itu, terlihat Henry---muda, tampan, dan memegang palet cat. Di sampingnya, seorang wanita berdiri dengan senyum samar. Mata Alina membeku pada sosok wanita itu. Ada sesuatu yang familiar pada senyumnya.
Alina mengangkat foto itu, menatap lebih dalam. Wanita itu bukan sekadar seseorang dari masa lalu Henry. Ia merasa pernah melihat wajah itu sebelumnya---mungkin di arsip, mungkin dalam bayang-bayang mimpi yang tak jelas.
Sebuah ketukan keras di pintu depan mengembalikan Alina ke kenyataan. Tubuhnya menegang. Siapa yang datang ke rumah ini di tengah hujan deras dan kesunyian malam?