Beranjak dengan Bijak
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Setelah selesai berkemas, segera kuhubungi langganan ojek online mobil yang bisa mengantarku pergi. Jika misalnya malam ini tidak mungkin, setidaknya besok pagi-pagi benar bisa berangkat.
Bersyukur, malam itu dijawab kebetulan ia harus menjemput tamu di bandara sekitar pukul enam sehingga harus berangkat sebelum pukul empat pagi. Aku pun setuju. Berangkat pukul setengah tiga pagi buta.
Pada keesokan harinya tepat sesuai janji, aku siap berangkat mengikutinya ke bandara. Melewati pintu butulan samping kiri rumah, aku keluar tanpa diketahui siapa pun. Aku menuju jalan besar tempat janjian dengan sopir. Dingin bersama rinai dan sepi sekali, tetapi tidak menyurutkan niatku untuk segera pergi. Menjauh sejauh-jauhnya membuang diri sekaligus untuk membenahi segala sesuatu yang tidak layak sebelumnya. Berbenah dan berubah! Itu keinginan utamaku.
"Pagi, Mbak! Pas banget seolah ada yang mengatur sehingga perjalanan kita boleh sesuai rencana. Kita berdoa dulu, ya Mbak!" ajaknya.
"Iya, Mas. Saya percaya sudah dipersiapkan oleh-Nya. Mari kita serahkan di dalam doa. Biarlah kita berdoa di dalam hati masing-masing."
"Amin. Mbak ... karena ini di luar ekspektasi dan ternyata sebagai teman perjalanan, biarlah Mbak nggak usah membayar saja!" lanjutnya.
"Loh, ya jangan, Mas! Mas kan kerja ... jadi, biarlah saya tetap membayar. Itu sebagai rezeki Mas, kok! Saya juga sangat membutuhkan jasa Mas. Tanpa Njenengan, mana bisa saya pergi sepagi ini?"
"Kapan lagi saya berbaik hati, sih, Mbak? Izinkanlah saya mengantar saja, toh kita sejalan. Menjadi teman seperjalanan. Maka, jangan segan dan enggan. Kita 'kan sudah langganan, Mbak?"
"Gimana, ya ... jangan, ah, Mas. Saya enggak enak hati!"
"Ya, sudah, kalau gitu ... biar adil, kita fifty-fifty saja, ya! Jadi, Mbak hanya membayar 50% saja, adil, kan?"