Jalanan setapak berliku membuat begitu pusing. Berasal dari desa kabupaten daerah dataran rendah dihiasi area persawahan menghampar, aku begitu kaget saat dibawa mengunjungi desanya.
Sebuah desa di kota pegunungan sebagai kota terbesar kedua Provinsi Jawa Timur, terkenal dengan keindahan dan hawa dingin, perbedaan itu sangat kontras.
Kontur area ditambah hawa dan suasana yang jauh berbeda membuat sangat kurang nyaman. Apalagi di musim hujan seperti saat itu.
Setelah sekitar kurang lebih sebulan pada semester pertama berkuliah dan berada di kota dingin, salah seorang kenalan orang tua menemuiku di rumah saudara, tempatku nebeng selama semester itu. Aku sudah mengenal, sejak setidaknya dua tahunan terakhir.
Namanya Yasmidi. Konon diambil dari kata yasmine, berarti melati. Kenyataannya, ia memang penyuka kuntum mungil, putih, semerbak wangi itu.
Di saku kemeja dapat dipastikan selalu ada beberapa kuntum melati. Tentu saja, aroma semerbak melati menguar jika berdekatan dengan sosoknya.
***
"Ndhuk, belikan bunga tiga warna di pasar. Kembang boreh lengkap, ya! Sekalian kemenyan juga sudah habis!" ujar sosok yang kusapa bapak, padahal sebenarnya kakek dari pihak ibuku.
Kakeknya memeluk aliran kepercayaan kejawen. Beliau memiliki komunitas unik dan aneh. Sering menggelar ibadah kepercayaan dengan mengundang beberapa orang saat malam di rumah. Adapun ritual itu harus diperlengkapi dengan membakar kemenyan, mempersiapkan beberapa jenis dan warna bunga.
Setelah hampir setengah abad, sebenarnya aku lupa-lupa ingat dengan prosesi ritual tersebut. Namun, satu yang masih tercatat dalam memori. Dalam pertemuan tersebut ada seseorang yang menyuarakan perkataan arwah. Semacam jaelangkung.